Aku, Ailan, Azhel dan Alisa duduk manis mengelilingi meja kantin dengan berbagai hidangan makanan, setelah lelah karena dihukum tadi pagi dan suntuk karena pelajaran---mungkin hanya bagiku---akhirnya aku bisa makan. "Akhirnya aku tidak mati kelaparan," ujarku bersyukur.
"Kau tidak akan mati walau tidak makan sehari, Falyn, tidak usah berlebihan," ujar Azhel di meja seberang.
Aku terdiam karena terkejut. Wah, apa benar tadi Azhel yang mengatakannya?
"Wah, tumben sekali Azhel bicara seperti itu?" tanyaku. "Kau pasti bukan Azhel."
"Dia memang seperti itu, Falyn, selama ini dia kalem hanya topeng untuk mendekatimu, karena kau sudah milik orang lain, jadi Azhel menyerah dan menunjukkan wajah aslinya," sahut Alisa, dia duduk di sebelah Azhel walau awalnya dia ogah duduk dengan kembarannya.
"Apa maksudmu milik orang lain?" tanyaku selidik.
Ailan berdehem, dia mengalihkan pembicaraan. "Senang sekali akhirnya kita bisa makan bersama."
"Lebih senang lagi kalau ada Rudi," celetuk Alisa, dia lantas menutup mulutnya. "Ups, keceplosan."
Azhel tertawa sampai tersedak. "Kau benar-benar ada hati ya untuk Rudi? Hahaha tapi sayang dia tidak."
"Rudi sudah punya pacar ya?" tanyaku.
"Belum," jawab Ailan.
"Wah, boleh juga tuh Rudi buat Alisa, kalian keliatan cocok." Aku ikutan menggoda Alisa.
"Eh mana ada, aku menganggap Rudi seperti kakakku sendiri, tidak lebih." Alisa mengangkat tangannya, menyuruhku agar tidak beragumen lebih lanjut.
"Kau kan sudah punya kakak, aku merasa tersakiti." Azhel menyentuh dadanya dramatis.
"Nah, gitu, dulu cita-cita pengen jadi aktor tapi nggak kesampaian."
Kedua bersaudara itu malah melanjutkan pertengkarannya sampai-sampai makanan mereka dingin.
"Seperti itu gambaran kita nanti kalau kakak-kakak kita sudah bangun. Aku tidak sabar berdebat dengan Abang lagi," bisik Ailan.
Aku tertawa. "Benar, kadang pertengkaran kecil seperti itu yang kita rindukan."
"Kau di kamar jangan berisik, nggak usah main PUBG terus, berisik suara tembak-tembakanmu, mana suka mati terus," ujar Alisa setelah beberapa sesi pertengkaran.
"Aku nggak main game ya! Dan mana ada mati, hero-ku selalu menang." Azhel tidak mau kalah. "Kau juga jangan keras-keras kalau nyanyi di kamar, kasian penghuni lain yang terganggu suaramu."
"Kau mengatai suaraku jelek?"
"Hei, besok ada tanggal merah," ujarku tiba-tiba, membuat keduanya menoleh padaku.
"Beneran? Besok libur?" tanyanya keduanya kompak.
Aku mengangguk semangat. "Iya besok libur. Akhirnya aku bisa tidur sepuasnya."
"Belajar, bentar lagi ujian kenaikan kelas," celetuk Ailan yang mana membuat Azhel tertawa.
"Yah, kau nggak seru, Ailan!" seruku dan Alisa bersamaan.
Ailan hanya membalas senyum seperti orang bodoh yang gila belajar. Setelah itu bel masuk berbunyi.
Ailan berbisik padaku. "Nanti pulangnya bareng ya? Temani aku ambil motor di bengkel."
***
"Terima kasih, Bang," ujar Ailan saat motornya sudah selesai diservis.
"Beli baru aja lah, Ailan, motormu udah sering rusak."
Ailan tertawa kecil. "Bukannya aku nggak mau beli baru, Bang. Sayang motor ini banyak kenangannya, kalau begitu aku duluan ya, Bang." Ailan memberikan beberapa lembar uang puluhan, setelah itu pamit.
"Udah?" tanyaku memastikan sekali lagi.
Ailan mengangguk. "Ayo, kita beli makan dulu ya? Sekalian aku mau ajak jalan-jalan? Mau? Aku bosan di rumah tidak ada siapa-siapa."
"Tanya tuh satu-satu, Ailan. Oke deh, tapi aku izin Mama dulu ya."
Ailan mengangguk. Aku menelepon Mama dan meminta izin untuk bermain bersama Ailan, tanpa banyak tanya Mama langsung menyetujui. Tumben sekali, biasanya Mama banyak tanya, aku curiga kalau Mama sudah lama kenal Ailan.
"Kok Mama aneh ya langsung ngebolehin tanpa banyak tanya?" tanyaku sembari duduk di jok belakang motor Ailan.