After Ecstasy

Varenyni
Chapter #34

33. Abang Kembali

Berhubung sudah sore dan aku masih di rumah sakit, aku jadi sangat kelaparan, hingga tibalah aku kantin rumah sakit dan makan sendirian. Jujur saja makanan di sini bukak seleraku, aku lebih menyukai batagor kantin sekolah daripada makanan di sini, rasanya agak hambar menurut lidahku.

Lagi-lagi aku mengecek ponsel dengan gelisah karena belum mendapat kabar dari Mama tentang Eri, dia belum juga sadar sejak tadi. Aku tidak tahu apakah saat kembali ke tubuhnya lagi dia harus melakukan sesuatu sebagai bentuk pertanggungjawaban?

Ailan juga tidak membalas pesanku dan saat aku tanyakan pada Alisa katanya mereka lagi berenang di kolam rumah Azhel bersama Rudi dan ponselnya ada di kamar Azhel, jadi aku memakluminya, laki-laki juga butuh waktunya sendiri.

Alisa tiba-tiba meneleponku, aku yang memang pada dasarnya tidak melakukan apa-apa dan butuh teman bicara langsung saja aku angkat, padahal aku jarang mengangkat telepon orang, kecuali orang tuaku dan ... Ailan.

"Kau ada di mana?" tanya Alisa begitu telepon kami tersambung, suaranya terdengar tidak bersahabat, dia sepertinya marah-marah.

"Aku di kantin rumah sakit, kenapa?" jawabku agak takut, kalau anak satu ini emosi sedikit menyeramkan.

Panggilan suara tiba-tiba dialihkan ke panggilan video, aku menerima permintaan Alisa dan beberapa detik kemudian terpampang lah wajah Alisa yang tampak kusut. Dia menggeleng-gelengkan kepala, Alisa tidak sedang berada di kamarnya, ia sepertinya ada di suatu tempat di luar ruangan rumahnya, aku tidak tahu pasti. Alisa mengalihkan ponselnya menjadi kamera belakang, terlihat hamparan kolam renang dan dua pemuda yang berlomba bermain dalam air.

"Lihat cowokmu dan kakakku itu." Tangan Alisa menunjuk Ailan dan Azhel yang memunculkan kepala di permukaan air, aku langsung mengambil langkah cepat dengan merekam layar.

"Nggak pakai baju dan sok ganteng, cih." Alisa mencibir.

Sebuah cipratan air dilemparkan oleh Azhel, membuat Alisa berteriak dan memarahi Azhel. "Azhel! Aku sebarin aibmu baru tahu rasa!"

"Sebarin, walau gitu aku tetep ganteng hahaha." Azhel tertawa, begitu juga dengan Ailan.

"Lihat, Lyn, dia punya teman jadinya sok berani gitu, padahal biasanya paling takut kalo aibnya disebarin," ujar Alisa, aku tidak tahu ekspresinya karena kameranya masih mengarah pada kolam renang.

Ailan tiba-tiba keluar dari kolam renang dengan tanpa baju dan hanya menggunakan celana pendek, ia lantas menyugar rambutnya yang basah dan pandangannya tiba-tiba mengarah pada kamera. "Itu Falyn?"

"Hm, iya," jawab Alisa singkat, aku bahkan masih bisa merasakan aura permusuhan dari sini.

Wajah Ailan berubah menjadi sumringah, dia mendekati kamera. "Pinjam."

Panggilan berubah menjadi kamera depan sehingga wajah kami saling bertemu. Ailan melambaikan tangan semangat. "Apa kabar, Sayang?"

"Idih, saya jomblo, saya nyimak," celetuk Alisa.

"Ih jangan gitu, Ailan, aku malu sama Alisa," balasku.

"Tidak apa-apa, biar dia terbiasa. Oh ya, aku tadi berenang, lama banget aku nggak berenang."

Aku tersenyum melihat wajah antusias Ailan. "Kau suka berenang, Ailan?"

Ailan menggeleng. "Aku lebih suka Falyn."

Aku teriak dalam hati dan aku yakin pipiku memerah karena malu. "Aku juga suka Ailan, malahan sayang dan cinta."

Ailan di layar ponselku terlihat salah tingkah, dia benar-benar lucu sampai-sampai aku ingin menghampirinya dan memeluknya. "Kalau berenang aku serasa terbang, kan dulu diketawain Abang karena mau jadi astronot, yaudah aku coba berenang, kan sama-sama rasanya terbang."

Aku hanya memperhatikannya yang asik berceloteh dengan iringan suara tawa Alisa dan Azhel di belakang. 

"Ailan, ayo lanjut!" teriak Azhel dari kolam renang.

"Aku mau terbang dulu ya, Tuan Putri." Ailan melambaikan tangan.

Aku mengangguk dan balas melambaikan tangan. "Jangan lama-lama ya Pangeran, jangan sampek tubuhmu nanti jadi lembek seperti mi."

***

Aku yang sedang melamun sendirian di rooftop rumah sakit---walau aku tidak benar-benar sendirian---ada arwah anak kecil yang baru meninggal yang dari tadi aku ajak bicara, aku terkejut saat mendengar suara panggilan di ponselku.

"Kak ponselnya bunyi," kata hantu kecil itu, aku sangat menyayangkan kematiannya, ia meninggal karena katanya sejak lahir dia sudah sakit-sakitan.

"Iya, paling juga Mama," ujarku, aku lantas melototkan mata. "Mama?"

Aku mengangkat telepon dan benar saja Mama yang menghubungiku. Bicara soal melihat arwah, jelas saja mereka dengan leluasa bisa mendekatiku karena pelindungku tidak ada di sini, selama beberapa hari terakhir ini aku sering berada di dekat Ailan jadi arwah-arwah tidak bisa mendekatiku, baru hari ini aku jauh dari Ailan, dan aku serasa kembali ke kehidupan lamaku bersama para arwah.

"Kakakmu sudah sadar," ujar Mama singkat.

"Kak Eri sudah sadar?" Tanpa sadar aku berdiri karena merasa senang. "Aku segera ke sana, Ma."

Aku mematikan sambungan telepon dengan Mama, air mataku turun karena merasa senang, akhirnya kakakku sudah kembali.

Aku menelepon Ailan sebentar.

"Kak Eri sudah sadar, Ailan," kataku setelah sambungan telepon terhubung.

"Benarkah? Syukurlah kalau begitu, aku turut berbahagia. Kalau Abang bagaimana?" tanya Ailan balik dari seberang sana, suaranya terdengar bersemangat.

"Aku masih belum mendengar kabar, nanti aku akan ke sana. Aku tutup dulu ya, Ailan, aku tidak sabar bertemu Kak Eri."

"Iya, jangan lari-lari nanti jatuh."

Aku pamit sebentar pada arwah anak-anak yang tadi menemaniku, lalu aku turun dari tangga dan menuju lift ke lantai empat. Jantungku berdebar-debar karena ini pertama kalinya aku akan bertemu Eri selama dua tahun.

Aku membuka pintu ruang rawat inap, dari luar terdengar suara Papa dan Mama yang heboh. "Kakak?"

"Falyn?" Eri memanggilku dengan suara lemah, matanya yang sayu menatapku.

Papa dan Mama memberiku jalan sehingga aku bisa melihat dengan jelas wajah Eri, di detik itu juga air mataku turun, aku berlari kecil menghampirinya dan memeluknya. "Kak, aku kangen, jangan pergi lagi ya?"

Lihat selengkapnya