Kepalaku terasa sakit begitu aku mencoba membuka mata pagi ini, mungkin karena efek menangis kemarin dan aku yakin betul kalau mataku saat ini bengkak dan penampilanku seperti gembel.
"Jangan bilang begitu, kau itu wanita tercantik yang pernah ada."
Sial!
Malah bayang-bayang Ailan saat memujiku di kala aku merasa wajahku begitu jelek kembali teringat, seakan-akan menghantuiku dan membuat hatiku sakit lagi hingga tidak terasa air mataku lagi-lagi menetes.
Aku mencoba duduk dan menyandarkan punggung di dinding. Ponselku menjadi sepi, tidak akan ada lagi manusia yang pagi-pagi akan mengirimiku pesan dengan menyebut nama Tuan Putri dan emotikon hati, tidak akan ada lagi kata-kata manis yang akan diucapkan setiap kali dia meneleponku dan tidak ada lagi Pangeran yang akan selalu menampilkan wajah manis dan senyum cerah setiap kali kami melakukan panggilan video.
Pangeranku telah pergi, dia meninggalkan tuan putrinya di sini sendirian.
Aku memeluk lutut dan menyembunyikan wajahku di sana. Tanganku mencengkeram kuat lututku dan saat itu tangisku mulai pecah. Padahal aku dan Ailan baru sebentar merasakan kebahagiaan, tetapi kenapa kebahagian ini cepat berlalu? Dan setelah bahagia, apa yang akan terjadi?
Aku membuka ponsel dan melihat kembali histori chatku dengan kontak bernama Pangeranku. Aku tersenyum pedih saat membaca chat dari Ailan kemarin pagi.
Pangeranku
Halo, Tuan Putri, waktunya bangun Pangeranmu ini akan mampir jam 7 nanti.
06.01 am
Tuan Putriku sayang. Aku sudah sampai di rumahmu nih, aku bertemu Permaisuri, dia bilang Tuan Putriku masih tidur. Aku tunggu di bawah ya, dari Pangeranmu tersayang.
Aku lanjut membaca chat-chat selanjutnya dengan derai air mata yang tidak berhenti, sampai tepat di mana chat terakhir aku menanyakan keberadaannya, yang sampai sekarang chat itu masih belum terbaca.
Aku mengetikkan pesan untuk Ailan.
Pangeranku, selamat beristirahat ya, semoga kau suka dengan rumah barumu, jangan lupakan aku ya, aku di sini juga bahagia kok, asal kau tahu aku begitu mencintaimu.
Ponsel yang malang itu aku lempar di kasur dan aku lanjut menangis keras. "Kenapa kehilanganmu begitu menyakitkan, Ailan? Hatiku begitu terluka."
"Bohong, katanya kau bahagia, tapi kau malah menangis."
Aku terdiam saat mendengar suara familier itu terdengar dari depanku. Aku mengangkat kepala dan melihat Ailan duduk di depanku, dia tersenyum tipis walau berwajah pucat dan baju yang dia gunakan sama seperti baju saat dia kecelakaan.
"Ailan?"
"Tadi Tuan Putri bilang sudah bahagia, kenapa sekarang menangis?" tanya Ailan.
Tanpa perlu menjawab pertanyaan Ailan, aku langsung memeluk pemuda itu. "Maaf, aku tidak bisa membohongi perasaanku, hatiku begitu sakit saat kau meninggalkanku. Maaf karena aku baru menyadari perasaanku terlalu terlambat, kalau aku sadar dari awal mungkin tidak begini."
Ailan mengelus pelan rambutku. "Tidak, kau tidak salah, Falyn. Dan perihal perasaanmu, hati tidak bisa dipaksa kapan dia akan berlabuh."
"Kau tahu, Ailan? Semakin singkat sebuah cerita, maka akan semakin dalam pula lukanya, sama seperti luka di hatiku ini."
Ailan memelukku semakin erat. "Maaf, aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku harus pergi, Falyn. Aku---"
Aku menggeleng keras. "Jangan pergi, Ailan. Kalau kau menyayangiku, kau jangan pergi, aku mohon."
Ailan melepas pelukan kami, ia tersenyum dengan wajah pucat itu dan jemarinya menghapus air mataku. "Aku lebih menyayangimu, aku benar-benar menyayangimu sampai mati. Tapi Falyn ... karena aku sangat menyayangimu, aku harus pergi. Kau harus melepasku dari hidupmu, Falyn."
Aku semakin menangis.
"Aku tidak bisa ke akhirat karena kau menahanku, Falyn."
Aku menghentikan tangisku. Jadi, dia arwahnya Ailan? Bukan hanya sekadar bayanganku? Kalau Ailan tertahan di bumi, dia akan sangat menderita.
Ailan memberikan sebuah senyuman yang kubalas dengan anggukan.
"Kau bisa pergi, Ailan. Ingat ini, aku membiarkanmu pergi karena aku benar-benar mencintaimu, sampai jumpa di kehidupan selanjutnya," ujarku yang berusaha tegar.
Ailan mengangguk. "Aku pergi juga karena aku mencintaimu. Terima kasih Falyn sudah menjadi bagian dari masa mudaku."
"Aku juga senang menyambutmu di masa mudaku."
Ailan menghapus sisa air mataku. "Jangan mengantarku dengan air mata ya? Senyum yang cerah agar aku bisa mengingatmu dengan memori yang baik dan aku juga akan tersenyum semanis mungkin agar kau bisa ingat sampai beberapa tahun ke depan, walau tanpa aku di sisimu."