Sepulang sekolah, Ailan mampir ke rumah sakit Husada untuk melihat keadaan Vino yang masih enggan bangun selama dua tahun ini. Di ruangan rawat inap Vino, tidak ada siapa-siapa, ia juga tidak melihat Mama ataupun Papa yang berkeliaran di sekitar rumah sakit.
Ailan memandang wajah abangnya yang terpejam, dia meraih tangan Vino dan menunduk, menahan tangis.
"Maafkan aku, Bang, aku salah sangka. Selama ini aku pikir kau tidak mau menemuiku karena membenciku, ternyata aku baru tahu dari Falyn kalau kau tidak bisa ingat apa-apa, seharusnya aku segera memberi tahu Falyn kalau tubuhmu ada di sini sehingga dia bisa membantumu agar Abang bisa bangun lagi."
Air mata Ailan menetes, dia mengingat-ingat kesalahan yang pernah ia lakukan pada Vino. Pemuda itu sadar kalau ia bukanlah adik yang baik dan Vino kakak yang terlalu baik untuk Ailan.
"Aku begitu egois, Bang. Aku sudah lama tahu Falyn menemukan arwahmu, tapi egoku melarang untuk bilang kalau tubuh Abang ada di sini. Aku takut ... takut kalau Falyn masih mencintai Abang dan dia akan pergi dariku. Maafkan adekmu ini, Bang." Ailan berlutut dengan kepala yang bertumpuh pada samping ranjang Vino.
"Maaf, Bang. Seharusnya aku tidak diam saja, seharusnya sejak awal aku mengaku pada Falyn kalau kau Abangku, tapi aku takut Bang. Aku takut Falyn nanti membenciku."
Ailan mengelap air matanya, dia lantas duduk di kursi sebelah Vino dan memandang abangnya yang sangat dia sayangi dan cintai lebih dari siapapun.
"Abang tahu nggak? Bang Arga yang aku anggap seperti kakak sendiri telah menyakiti gadismu. Aku ke sini mau minta izin, boleh aku urus orang brengsek itu?" tanya Ailan, yang tentu saja tidak akan mendapat respons dari Vino.
"Kesepakatan kita dari dulu, diam berarti setuju. Aku pamit ya, Bang." Ailan berdiri, dia mengecup pipi Vino sebelum melambaikan tangan dan keluar dari kamar inap Vino.
Ailan tetap tidak menemukan orang tuanya di mana pun, mungkin Papa sedang mengoperasi dan mungkin saja Mama juga sibuk. Ailan menghela napas lelah, selalu saja orang tuanya tidak ada waktu untuknya, padahal Ailan sedang merindukan mereka. Entahlah, tiba-tiba saja Ailan merindukan orang tuanya.
Dengan naik motornya, Ailan sampai di depan rumah Arga. Dia sekilas melihat motor Arga terparkir di depan rumah yang menunjukkan jika Arga ada di rumah. Ailan mengetuk rumah Arga, sudah lama dia tidak datang ke rumah teman Abang Vino.
"Bang Arga! Aku datang!"
Ailan menoleh ke samping kanan karena merasakan ada aura dari abangnya. Di pandangannya, dia melihat asap berwarna kelabu pekat menandakan roh di sampingnya ini memiliki dendam yang besar. Ailan memang tidak bisa melihat Vino, tetapi dia tahu kalau sekarang Vino ada di sampingnya, dia bisa merasakannya walaupun tidak bisa melihat atau mendengarkan Vino.
Ailan buru-buru memakai kacamatanya dan memaki. "Dasar!"
Ailan tersenyum tipis saat tidak lagi melihat bayangan atau asap kelabu itu. Ailan berterima kasih pada Vino karena dulu ia memberikan kacamata ini.
Ceklek!
"Ailan? Kau datang juga adekku!" seru Arga dengan wajah sumringah, ia lantas memeluk Ailan yang sudah lama tidak bertemu dengannya.
"Kau pasti rindu aku Bang," ujar Ailan.
"Oh, tentu saja. Ayo masuk dulu, Mama Papa tidak ada di rumah, ayo kita makan dulu, tadi Mama sudah menyiapkan makanan sebelum keluar."
Ailan tidak sengaja menutup pintu dengan keras, ia yakin pasti Vino sekarang mengomel dan mengatainya tidak punya tata krama.
"Tumben ke sini?" tanya Arga.
"Iya, Bang, aku cuma mau menemui Abang, udah berapa tahun ya aku nggak ke sini?" tanya Ailan tampak berpikir.
"Dua tahun, sejak kejadian hari itu," jawab Arga sembari sibuk menata makanan di meja makan. "Setelah ini ayo makan malam, aku tadi beli makan banyak."
"Wah, makan!" Ailan dengan semangat berlari kecil menuju meja makan, ia lantas duduk dan cengengesan saat Arga menggelengkan kepala melihat kelakuan Ailan.
"Kau masih sama ya?"
"Kau kan abangku, sejak Bang Vino nggak ada, kau yang menggantikan peran Bang Vino," jawab Ailan.
"Apa kau sangat menyayangi Vino?" Arga duduk di depan Ailan setelah semua makanan dan minuman sudah tersaji.
Ailan yang mulutnya penuh makanan mengangguk, dia lantas menelan makanannya. "Aku sangat menyayanginya lebih dari Bang Vino menyayangiku."
Ailan melepas kacamatanya.
"Kau minus?" tanya Arga. "Beberapa kali aku melihatmu di sekolah pakai kacamata terus."
Ailan menggeleng. "Aku hanya suka memakainya, kacamata ini dari Abang."
Ailan melirik tempat duduk di sebelahnya, dia melihat ada bayangan Vino di sana, bedanya tidak lagi berwarna gelap, sepertinya ia sudah tidak begitu mengeluarkan aura dendamnya.
"Eh, Abang ingat nggak kebakaran di kereta dua tahun ini lalu?" tanya Ailan yang tiba-tiba, ia yakin Vino ingin membahas masalah ini.
Arga mengangguk sembari mengunyah makanannya. "Iya, kejadian itu sangat mengenaskan, banyak anak Laverna yang meninggal dan menghilang."
"Kalau menghilang sih menurutku jasad mereka sudah terbakar, Bang," kata Ailan. "Tapi mungkin nggak sih Bang kalau sebenarnya korban yang dinyatakan menghilang tiba-tiba ditemukan?"
"Ya bisa saja," jawab Arga sekenanya.