Langkah Louise menggema saat menapaki satu per satu anak tangga sebening kaca. Tak seperti biasa, Sang Lady tidak mengenakan pakaian zirah kebesarannya. Gadis itu mengenakan gaun panjang sederhama berwarna jingga, rambut emasnya tersanggul rapi menyisakan anak rambut di kedua sisi yang membuat wajah cemberutnya terlihar sedikit lebih manis. Tidak mudah membuat seorang Lady Louise dari Silverwall berpenampilan feminim. Tiga puluh menit lalu, Pepa dan keempat Peri asuhan Bidadari Tiffany yang lain harus berjuang keras memakaikan segala hal tersebut pada tubuh Louise yang terus-terusan meronta protes.
“Kami meminta hanya buat ini hari saja, Lady ....”
“Lebih baik memotong kakiku sendiri daripada harus menggunakan alat penyiksaan itu!” jerit Louise begitu diminta mengenakan sepatu berhak tinggi.
Akhirnya para Peri menyerah, lantas mengizinkan Louise memakai sepatu bot kain sepanjang betis. Gadis itu juga berkali-kali menghapus pewarna bibir merahnya dengan kasar, juga menolak mentah-mentah polesan merona di pipi. Satu-satunya benda feminim yang sukarela dikenakan Louise hanyalah kalung berliontin bintang pemberian Sang Bidadari sebelum perang antar kubu Utara dan Selatan pecah. Selain hadiah pertama dari ibunya sendiri, kalung itu akan selalu mengingatkan Louise kepada satu-satunya lelaki yang mengisi hatinya hingga detik ini, dan mungkin selamanya. Tanpa sadar wajahnya menghangat, menimbulkan senyum rindu.
Gadis itu sampai di depan gerbang besar bercorak mahkota berkilauan, mengetuk beberapa kali dengan irama, lantas pintu terbuka menyemburkan serbuk berkilauan serta wewangian semerbak. Ruangan bernuansa merah muda itu kosong, hanya satu pintu beraksen klasik berdiri tegak di tengah, padahal tidak ada ruangan apa pun di belakangnya. Langsung saja Louise membuka pintu tersebut, menapilkan seorang wanita berusia tiga puluhan tengah duduk di hadapan meja bundar yang mungil.
Di atas meja itu ada teko putih serta dua cangkir berbentuk kelopak bunga. Satu bangku mungil lain beraksen hijau dan ungu pastel yang menunggu untuk segera diduduki. Wanita anggun berambut pirang itu menoleh, bibir semerah delima segera menyunggingkan senyum begitu melihat Louise. Dia menghampiri dengan langkah berirama layaknya seorang balerina.
“Lihatlah Lady Silverwall kita yang cantik,” ucapnya dengan suara selembut sutera. Louise merasakan sensasi memantul dingin saat pipi sang bidadari menyalami pipinya. “Seluruh dunia akan mengenalmu dengan kecantikan ini.”
“Aku lebih suka terkenal karena aksi yang luar biasa,” balas Louise yang padahal tidak bermaksud sinis, tapi malah terdengar begitu.
Bidadari Tiffany tertawa, “Oh, Lady, kau sudah jauh lebih lama dikenal karena hal itu. Duduklah, teh tidak akan nikmat jika diminum dingin.”
Louise menurut saja saat sang Bidadari menuntunnya ke meja teh. Begitu bokong mereka sudah menempel di bangku masing-masing, Bidadari Tiffany menuangkan teh berwarna cokelat madu pada cangkir Louise.
“Berapa balok gula?” Wanita itu menyodorkan mangkuk kristal dipenuhi kubus putih kecil.
“Tujuh.”
“Lady, bukankah itu terlalu banyak untukmu ...,” tegur sang Bidadari, meskipun ia tetap memasukkan tujuh kubus ke dalam cangkir. “Yah, orang memang suka yang manis-manis kalau sedang jatuh cinta.”
Ekspresi Louise berubah gugup, tidak menyangka sang Bidadari akan menyinggung hal tak terduga. Ironisnya, gadis itu bahkan tidak tahu cinta benar-benar ada dan bisa berdampak pada kehidupan seseorang, tapi sekarang ia malah dilemahkan oleh cinta. Ketertarikannya pada segala hal manis akhir-akhir ini belum seberapa.
Sang Lady tidak lagi terlalu kejam dalam latihan kesatria, bahkan menambah durasi istirahat yang mana hal itu teramat mustahil. Gadis itu sering melamun terutama malam hari, menatap rembulan sambil terseyum-senyum sendiri. Lady Silverwall seolah kehilangan jati dirinya selama beberapa bulan belakangan. Semua itu hanya karena seorang laki-laki.
Laki-laki yang manis.
Menyadari lamunan Louise, sang Bidadari berdeham hendak membuka percakapan. “Jadi, Lady ... bagaimana kondisi para kesatria di bawah sana? Selama ini yang kuterima hanya untaian katamu yang indah dan bijaksana, sekarang aku ingin mendengarnya langsung.”
“Para kesatria ... mereka luar biasa seperti seharusnya,” jelas Louise. Entah apa yang membuatnya terbata-bata. Ini pertama kali ia dan Bidadari Tiffany duduk berhadapan, berinteraksi santai secara langsung.
“Dan ... apakah kalian akan menjalankan sebuah misi dalam waktu dekat?”
“Belum, belum ada kejadian apa pun.”
Sang Bidadari tersenyum, bukannya tidak mengerti isi hati Lady Silverwall, tapi berusaha memaklumi. Bahkan Bidadari pun akan heran melihat seorang Lady Silverwall kehabisan kata, tidak berapi-api, seolah tidak berambisi dengan aksi yang selama ini menjadi tujuan hidupnya. Wanita itu menyentuh tangan Louise, menyebarkan kehangatan juga ketenangan yang sangat Louise butuhkan.
“Kau mau tahu bagaimana seseorang menjadi Bidadari?”
Louise menatap balik Bidadari Tiffany dengan wajah penasaran sekaligus heran. Ia tidak pernah kepikiran akan hal itu, tapi ketika disinggung, ternyata memang fakta itu yang paling ingin Louise ketahui seumur hidupnya.
“Bagaimana seseornag bisa menjadi Bidadari?” Louise bertanya balik. Membuat Bidadari Tiffany menarik napas untuk memulai kisah mengaggumkan.
“Pertama, jika manusia terlahir tanpa cinta dan darah, maka dia akan menjadi istimewa.”
“Manusia yang lahir tanpa cinta dan darah?”