Beberapa bulan belakangan, pemandangan setiap pagi di Kerajaan Selatan didominasi para Elf yang bekerja penuh semangat riang gembira. Mengecat ulang, memperbarui pondasi, membabat tanaman benalu, menjahit gorden jendela. Segala hal yang bisa dirombak menjadi lebih baik akan mereka lakukan tanpa disuruh.
Para Elf bekerja setiap hari sejak pagi buta hingga larut malam, bahkan mereka berinisiatif untuk berganti jam kerja sehingga kegiatan renovasi tidak berhenti selama 24 jam penuh. Berkat para Elf, Istana Selatan nyaris kembali terlihat baru hanya dalam tiga bulan. Istana Selatan menjadi bersih, kokoh, serta mewah, sebagaimana mestinya sebuah Istana.
Namun, ada satu ruangan yang tidak pernah direnovasi satu kali pun, yaitu ruangan teratas di menara paling tinggi, alias ruangan Edmund. Setiap kali para Elf berusaha masuk, Edmund akan membentak mereka, lantas membuat Falsies-falsies malang itu kocar-kacir ketakutan. Sebelumnya, tidak pernah ada yang berani memasuki ruangan Edmund bahkan di dalam imajinasi mereka. Hanya satu Troll bernama Kursak yang tahu bagaimana isi dari ruangan sang Raja, itu pun harus dengan izin. Lagi pula, Edmund tidak terbiasa melihat istananya dipenuhi rutinitas serta keramaian.
Ketika kastel itu dipenuhi Falsies buangan, tidak pernah ada satu suara pun terdengar sehingga angin bisa menjelajah ke setiap sudut kastel sesukanya. Falsies buangan tidak pernah bicara, mereka hanya menggeram sesekali, atau menimbulkan dentuman langkah. Itu sebabnya Istana Selatan terkenal dingin, seperti rajanya. Namun kini, berbagai macam suara bahkan nyanyian masuk ke telinga Edmund tanpa henti, terkadang semua itu menjadi terlalu mengganggu sampai-sampai ia harus membenamkan kepala di bantal atau seember air.
“Pergi dari sini!” jeritnya penuh amarah, ketika pintu kamar lagi-lagi diketuk, mungkin untuk yang keseratus kali hari ini.
“Ini aku!” balas suara bariton kekanakkan. Tanpa persetujuan, pemuda berambut ikal masuk dengan cengiran lebar. “Pantas saja para Elf ketakutan. Kau berteriak sekeras itu. Kenapa kau marah-marah terus, Ed?”
“Mereka berkali-kali masuk seenaknya ke dalam kamarku. Seharusnya mereka dihukum, begitu juga denganmu!” Edmund membuang muka, beralih pada jendela besar.
Wiggy berdiri di sebelahnya. “Mereka hanya mencoba membantu. Ayolah, jangan terus-terusan menjadi penggerutu. Kau sudah bukan dirimu yang dulu.”
Akhirnya Edmund melirik, lantas mengembus napas cepat. “Aku tidak terbiasa dengan segala keramaian ini. Aku bahkan merasa tidak nyaman di kamarku sendiri, para Elf tolol itu muncul sesuka hati padahal berkali-kali kukatakan jangan melakukan itu! Aku tidak bisa menutup mata barang lima menit!”
“Mereka memang bebal kadang-kadang ....” Wiggy terkekeh, tapi langsung berhenti saat wajah Edmund masih kesal. “Jangan khawatir, aku akan bicara pada Toddy. Aku pastikan para Elf tidak akan pernah mengganggumu lagi.”
“Ya sebaiknya begitu ....” Edmund kembali berpaling ke luar jendela, menatap jamur-jamur menyala yang ternyata begitu menyilaukan dari jarak sedekat ini.
Wiggy menyadari ekspresi sang adik tampak tidak puas dengan solusi tersebut. “Baiklah, katakan kau ingin aku berbuat apa?”
Pria pirang itu tampak ragu, mengusap hidung lancipnya pertanda ia sedang gugup, kemudian baru benar-benar menatap Wiggy. “Aku ingin Kerajaan Selatan kembali seperti dulu, sepi dan tenang.”
Air muka Wiggy berubah. “Maksudmu dingin dan suram?”
“Keramaian seperti ini membuatku risi, Edwig! Aku tidak nyaman melakukan segala hal akibat selalu ada Elf ke mana pun mataku melirik. Seolah istana ini bukan milikku lagi!”
“Istana ini jelas milikmu Edmund! Tapi kau harus ingat kalau ini istanaku juga,” entak Wiggy sedikit tersulut.
“Tempatmu di Wilayah Utara.” Edmund membalas dingin. “Begitu juga para Elf dan jamur-jamur menyala. Kalian memang lebih cocok di sana.”
“Jadi kau mengusirku?”
“Aku hanya ingin ketenangan si istanaku kembali.”
“Asal kau tahu, Edmund ... tidak ada satu manusia pun yang bisa hidup sendiri, bahkan seorang raja.”
Edmund tidak mengatakan apa-apa, tidak juga menatap balik, jadi Wiggy segera melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Edmund dalam kesunyian. Segera setelah pintu tertutup, pria itu menoleh sendu. Ada sedikit penyesalan melihat Wiggy pergi, tapi sebagian hatinya memang menginginkan hal tersebut. Mungkin keramaian memang tidak akan pernah cocok dengan gaya hidupnya, mungkin dalam hal ini ia tidak akan pernah bisa berubah.
Perlahan, hiruk-pikuk samar di sekeliling meredup hingga akhirnya tidak terdengar sama sekali. Edmund melangkah ke luar kamar, mendapati lorong bersih yang sepi. Sudut langit-langit yang biasanya bersarang laba-laba kini kosong, bahkan Edmund baru menyadari ada ukiran ombak di sana, klasik dan elegan.
Hampir setiap ruangan seolah menjadi baru, termasuk ruang singgasana. Susunan bata yang berkilau, jendela raksasa bermotif sepasang kuda tengah meringkik sebagai lambang kerajaan South-North. Karpet merah cerah terbentang dari gerbang masuk, lentera-lentera emas, juga empat takhta yang baru Edmund sadari memiliki warna sebanyak itu. Edmund duduk di takhta paling besar, terasa empuk dan nyaman.
Pria itu pasti terlihat gagah saat ini, jika saja ada mata yang melihat. Dia pasti dihujani pujian, jika saja ada seseorang yang bisa memberikannya. Edmund menghela napas, kepalanya mendongak begitu saja, lantas teringat bahwa ada serangkai lukisan sureal dramatis memenuhi langit-langit ruangan. Seolah baru dilukis beberapa jam lalu, lukisan-lukisan itu memperlihatkan para raja Soth-North terdahulu.
Ada Kakek dari kakek buyutnya Raja Ethelred, pendiri kerajaan South-North. Kakek buyutnya Raja Ethbard si ahli politik, bersebelahan dengan kakeknya, Raja Egbert yang paling bijaksana. Lalu ada ayahnya, Raja Ethelwulf yang mendapat julukan Si Hati Singa. Mereka tampak gagah dengan balutan jubah besar, tongkat panjang bertakhta berlian, serta mahkota emas yang memiliki bentuk istimewa tersendiri.
Seingat Edmund, lukisan berakhir di ayahnya, sebab Raja baru tidak pernah ada akibat serangan Falsies buangan. Akan tetapi, tepat di sebelah lukisan sang ayah masih ada dua pemuda lain, satu berambut pirang cerah dan lurus, sementara satunya pirang lebih keruh dan ikal. Tidak perlu melihat dua kali untuk mengetahui bahwa itu adalah Edwig dan Edmund.
Edmund tidak perah ingat ada lukisan mereka di sana, sebab tidak satu pun dari dia maupun Edwig pernah dinobatkan menjadi raja. Sedangkan lukisan itu dibuat setiap kali ada raja baru yang dimahkotai. Edmund melupakan sejenak masalah itu dan melihat-lihat ruangan lain. Semilir angin terdengar familiar, tapi juga begitu aneh, seolah lebih sepi dari kapan pun.
Pria itu memasuki ruang keluarga, jauh lebih kecil dari ruangan lain, tapi paling hangat karena ada tungku api menyala, juga sebuah kursi goyang kayu. Sesuatu mendorong Edmund untuk duduk bersila di depan kursi tersebut, lantas merasakan nyeri aneh di hati sampai tangannya harus meraba dada berusaha menghilangkan perasaan tersebut.
***
“Kenapa harus Edwig, Bu? Nilai-nilaiku jauh lebih bagus, kemampuan pedangku juga lebih hebat, aku jelas lebih unggul dari Edwig dalam segala hal!”
Wanita paruh baya berambut cokelat tersenyum menunjukkan kerut ramah meneduhkan. Terlihat dari tiara perak di sanggulnya bahwa dia adalah seorang ratu. Bisa dibilang Ratu idaman setiap negeri sebab dia rendah hati serta loyal. Wanita itu mengelus kepala pangeran kecilnya yang akhir-akhir ini tidak pernah berhenti membicarakan dirinya menjadi raja.
“Semua itu benar, Sayang. Tapi ada satu keunggulan Edwig yang mustahil bisa kau tandingi.”
Pupil Edmund membesar. “Apa itu? Aku yakin bisa menandinginya juga!”
Wanita itu terkekeh. “Yang ini tidak mungkin bisa, Mundy ....”
“Apa yang tidak mungkin untukku, Bu? Aku selalu bisa mengungguli Edwig. Bermain pedang, menunggang kuda, membuat puisi dan pidato, mengerjakan soal dari Edgar. Aku yang paling hebat!” Bocah sepuluh tahun itu membusungkan dada.
Namun, sang ibu malah tertawa lebih keras. “Ibu akui kau bisa mengungguli Edwig dalam segala hal. Kau anak yang cerdas dan selalu ingin belajar, semua orang tahu itu. Tapi tidak yang satu ini, karena keunggulan Edwig yang ini sangat istimewa.”
“Bisakah ibu katakan saja!” cecar bocah lelaki itu, menepis cubitan ibunya.