Berusia empat belas tahun seolah menjadikan Lillian sepuluh tahun lebih dewasa. Gadis itu mengetahui segala tanggung jawabnya di rumah, bahkan tanpa diajari siapa pun. Otomatis bangun pukul enam pagi, membuat tiga porsi sarapan, bekal makan siang, serta makan malam, mencuci piring, membersihkan rumah, semua ia kerjakan dengan senang hati.
Lillian tahu Phillip dan Ayahnya bekerja keras di kota Briston, jadi ia juga akan membantu di rumah sehingga saat keduanya pulang, mereka akan merasa nyaman dan bisa langsung beristirahat. Terkadang Phillip dan Harold justru merasa tidak enak melihat Lillian mengurus segala pekerjaan rumah sendiri. Biar bagaimanapun usianya baru empat belas, usia remaja yang pastinya masih senang bermain-main.
“Lilly, kau tidak harus melakukan semua pekerjaan rumah. Berikan Ayah dan Phillip tugas supaya kau tidak terlalu lelah,” tutur Harold di hari Sabtu yang cerah saat melihat Lillian menjemur pakaian.
“Kalian sudah cukup lelah bekerja di Briston, masalah rumah jangan khawatir. Lagi pula apa lagi yang bisa kulakukan saat Ayah bekerja dan Phillip pergi kursus? Bersemedi?”
“Entahlah, bermain ke Wilayah Utara mungkin, temui Wiggy atau kau bisa jalan-jalan ke kota. Pergi ke perpustakaan atau toko bunga, itu tempat kesukaanmu, ‘kan?”
Lillian tersenyum menatap ayahnya. “Aku selalu menemui Wiggy setelah semua pekerjaan selesai. Bahkan, terkadang dia datang ke sini untuk membantuku mengerjakan segala urusan rumah. Lagi pula, rasanya semua buku di perpustakaan sudah pernah kubaca, saking seringnya aku berkunjung.”
“Apa kau bilang, Wiggy datang ke sini? Kau berduaan saja dengan dia di rumah ini?” Phillip yang tengah memotong kayu bakar pun menyambar. “Apa saja yang kalian lakukan seharian?”
“Ya ampun, Phill, aku baru saja bilang kalau dia membantuku mengerjakan urusan rumah.” Gadis itu mencebik.
“Dan apa yang kalian lakukan setelah pekerjaan rumah selesai?” Sang ayah melempar tatapan menggoda, sementara dahi Phillip merengut ikut penasaran.
Senyum Lillian melebar sambil menerawang. “Kami jalan-jalan ke Hutan Tomer menunggangi Vesta, atau pergi ke Kerajaan Selatan dan membuat makan siang bersama para Elf.”
Harold tertawa dan mengacak poni anak perempuannya. “Syukurlah kau bersenang-senang.”
“Ya, aku harap tidak terlalu bersenang-senang ....” Phillip menyambar, sebelum membelah sebonggol kayu dengan sekali pukul, seolah akan melakukan hal serupa kepada siapa pun yang ‘terlalu bersenang-senang’ dengan adiknya.
Sifat berlebihan Phillip dalam menjaga Lillian belum juga hilang, boleh jadi semakin bertambah mengikuti usia. Apa lagi sang adik akan berusia lima belas, tepat satu bulan lagi. Teman-teman kerjanya di pertanian Navis sering menanyakan kabar Lillian, beberapa bahkan sengaja datang dengan alasan sepele demi bisa berbasa-basi sejenak dengan ‘adik Phillip yang cantik’.
Di sisi lain Wiggy belum juga menyerah untuk mendapatkan Lillian, dan Phillip belum juga bisa menerimanya. Perangai Wiggy memang jauh lebih baik semenjak menjadi manusia, tapi di mata pemuda itu Wiggy tetaplah Falsies konyol. Belum lagi mengingat usia aslinya yang sudah mencapai satu abad lebih. Jika suatu saat Lillian dan Wiggy benar-benar memiliki hubungan khusus, Phillip tidak bisa membayangkan akan menjadi secanggung apa. Pemuda itu buru-buru menggeleng, tidak mau memikirkannya lebih jauh.
“Ayah, aku ingin berbelanja ke pasar,” tutur Lillian setelah selesai menjemur pakaian. Gadis itu duduk di sebelah sang ayah.
“Tunggu sebentar lagi, aku akan mengantarmu!” sambar Phillip bahkan sebelum ayahnya buka mulut.
Lillian meringis. “Kalau menunggumu menghabiskan kayu, bisa-bisa tengah malam kita baru berangkat!”
“Kau berbelanja sendirian?” tanya Harold dengan kelopak mata melebar.
Gadis itu menggeleng tersipu-sipu. “Tidak ... aku akan pergi bersama Wiggy.”
“Itu bahkan lebih buruk daripada pergi sendirian!”
Kehisterisan Phillip barusan membuat sang adik memutar bola mata. “Ayolah, Phill! Aku pikir kita sudah menganggap Wiggy sebagai keluarga.”
Harold mengambil alih dengan merangkul anak perempuannya, seolah berkata jangan dengarkan dia. “Kalau kau pergi bersama Wiggy, pukul berapa dia menjemput?”
Bagai pucuk di cinta ulam pun tiba, Wiggy datang diiringi ringkikan riang seekor kuda cokelat terang. Seperti biasa, pemuda itu mengenakan sweater longgar berlengan panjang yang menjadi pas akibat dua punuk bekas sayap di punggung. Wajah tirusnya terlihat segar dengan potongan rambut baru. Sedangkan Vesta memakai kaca mata kuda beraksen hijau keperakkan. Keduanya seolah menunjukkan cengiran serupa.
“Dun-dun-dun ... Adipati Edwig dari South-North telah tiba! Tolong berikan sambutan yang meriah!” Pemuda itu berseru lantang dengan dagu terangkat.
Phillip melempar serpihan besar bekas potongan kayu ke arah pemuda itu dan membuatnya memekik. “Itu sambitan meriah untukmu!” balas Phillip dengan senyum puas, sebab salah satu kayu paling besar mendarat tepat di hidung lancip sang adipati.
Wiggy mengusap hiudng dengan wajah cemberut. “Lucu sekali, Philly ... Selamat siang Tuan Grace,” sapa Wiggy kepada pria berambut merah itu, senyumnya sudah kembali, lantas bertambah lebar saat menoleh ke arah Lillian. “Ah, kau sudah siap, Lilly?”
“Sudah! Ayo, kita berangkat!”
Wiggy mengulurkan tangan kepada Lillian yang menyambutnya dengan senang hati. Detik berikutnya gadis itu sudah duduk di atas kuda, tepat di belakang Wiggy.
“Kami berangkat dulu!”
Phillip menghampiri dengan kapak teracung. “Hey, siapa yang mengizinkan kalian pergi!”
Harold tertawa, mengambil kapak itu dari tangan sang anak dan melambai. “Jaga Lillian, jangan sampai dia belanja terlalu banyak.”
Wiggy mengacungkan jempol sambil mengedipkan sebelah mata sebagai jawaban.