Harold dan Phillip sudah sibuk sejak pagi, memindahkan perabot besar ke kamar baru Lillian. Lemari, ranjang tunggal, meja dan kursi baca, serta cermin rias diletakkan sesuai keinginan sang mandor, alias Lillian sendiri. Seharusnya proses pemindahan tidak perlu memakan waktu lama, tapi Lillian sangat signifikan dengan letak barang-barangnya. Tidak simetris atau tidak menempel cukup pada tembok akan membuatnya terganggu sehingga beberapa kali perabot itu harus digeser lagi dan lagi.
“Baiklah, Lilly, kau sudah puas sekarang?” Harold mengelap peluh pada dahi, padahal udara dingin. Mungkin ada lima kali pria itu mendorong-menarik lemari pakaian.
“Masih kurang beberapa senti atau mili barangkali?” Phillip menyambar penuh sindiran.
Yang diajak bicara mengusap dagu sejenak. Mengeker dengan ibu jari, lantas menyunggingkan senyum. “Ini sempurna! Terima kasih, Ayah dan Phillip!”
“Ah, akhirnya!” Phillip menjatuhkan tubuh pada ranjang, mengatur napas yang masih satu-dua.
“Aku membuatkan kalian pai susu dan teh limun. Ayo cepat, cepat! Kita ke meja makan sebelum dingin.”
Itu alasan Lillian untuk mengusir mereka, padahal gadis itu hanya ingin secepatnya menikmati kamar baru. Ia mengambil napas dalam, dan langsung menyesal lantaran aroma menyengat cat menusuk hidung. Lillian meringis, tapi wajah berserinya tidak berubah. Mungkin ia akan tidur siang, atau membaca buku seharian, yang penting bisa cepat beradaptasi. Belum sempat terlaksana, sepasang tangan menutup matanya dari belakang. Mulanya Lillian panik dan hendak berteriak, tapi entah kenapa tangan-tangan itu tidak mengintimidasi sama sekali, apa lagi saat disentuh dan Lillian tahu persis siapa pemilik tangan bertulang besar itu.
“Wiggy, lepaskan aku!” omelnya, meskipun tidak dengan nada marah.
Wiggy langsung menurut sambil tertawa sejenak, dan sekarang mereka berhadapan. “Hai, Lilly. Maaf mengagetkanmu.”
“Menyelinap itu tidak sopan, Wiggy!” Lillian berkacak pinggang. “Semua manusia masuk lewat pintu, sebaiknya kau mulai membiasakan hal itu karena sekarang kau juga manusia.”
“Ma—maaf ... tadi aku hanya, eh, aku melihat jendela terbuka dan melihatmu sendirian, jadi ....” Pemuda berkulit cokelat itu gelagapan, lalu teringat sesuatu dan merogoh saku depan pada baju panjangnya. “Oh, iya! Edmund menitipkan ini untuk hadiah ulang tahunmu. Dia tidak sempat datang ke sini karena ada pertemuan dengan Walikota Briston.”
Wiggy mengembuskan napas lega saat Lillian menatap berbinar-binar pada kalung mutiara merah muda pemberian Edmund. Rencananya terhindar dari omelan pun sukses.
“Mau kubantu?” Pemuda itu menawarkan.
Lillian mengangguk, lantas berputar dan menyibak rambut panjangnya agar Wiggy bisa memasangkan kalung dengan mudah. Setelah selesai, keduanya malah terpana dengan hal berbeda. Lillian terpana dengan kalung barunya yang berkilauan, sementara Wiggy terpana dengan si pemakai kalung. Wajahnya berubah warna, dan segera disamarkan dengan dehaman.
“Ini hadiah ulang tahun terbaik. Sampaikan terima kasihku untuk Edmund, ya.” Lagi-lagi gadis itu menyerukan jargon andalan. Akan tetapi, decihan Wiggy membuat perhatiannya pada kalung buyar.
“Itu bukan hadiah terbaikmu, Lilly. Belum ... karena aku yang akan memberikanmu hadiah terbaik.”
“Benarkah? Apa itu?”
“Tidak di sini ... ayo, kita jalan-jalan!”
“Tunggu! Aku harus izin sebelum pergi. Kalau tidak, Phillip dan Ayah bisa khawatir,” tegur Lillian saat pemuda ikal itu menarik lengannya ke arah jendela.
“Ini kan hari ulang tahunmu, saat yang tepat untuk tidak menjadi anak manis dan penurut. Ayolah, Lilly! Kau tidak akan menyesal.”
Gadis itu hanya butuh satu detik untuk berubah pikiran. Lillian memang tidak pernah menyesal dengan segala hal yang ditunjukkan Wiggy. Entah itu hal yang memang menakjubkan atau malah hal paling sepele. Baginya, bersama Wiggy segala hal akan terasa istimewa. Kedua insan itu melompat keluar jendela, mengendap sambil cekikikan ke arah Vesta yang menunggu lumayan jauh dari rumah.
“Mau duduk di depan?” tawar Wiggy ketika mereka hendak memanjat ke punggung Vesta.
Demi memastikan pendengaran, Lillian menoleh cepat. “Duduk di depan? Bagaimana kalau aku jatuh?”
Wiggy tertawa, “Kau pikir aku akan membiarkanmu, jatuh, Lilly? Kami akan menjagamu sebaik mungkin, benar, ‘kan, Vesta?”
Si kuda meringkik setuju, mengentakkan satu kaki depannya beberapa kali. Meskipun masih ada keraguan, gadis itu akhirnya mengangguk, maka Wiggy membantunya naik lebih dulu sebelum ikut naik. Begitu pelana digebah mendadak, Lillian terlonjak kebingungan harus berpegangan ke mana, jadi ia mencengkeram surai Vesta terlalu kencang hingga si kuda meringkik protes.
Wiggy terkekeh, lalu melingkarkan satu tangannya ke pinggang gadis itu. “Jangan takut, aku memegangmu,” bisiknya penuh ketenangan yang langsung menular kepada Lillian.
Gadis itu beralih pegangan pada tangan Wiggy, dan menikmati perjalanan mereka. Berkat hilangnya kekhawatiran, Lillian menyadari bahwa Vesta berlari seringan angin, seolah kuda itu tidak menapak tanah sama sekali. Rasanya seperti masa lalu, terbang bersama Wiggy menjelajahi Hutan Tomer. Kegiatan favorit Lillian dan Wiggy yang tidak lagi bisa mereka lakukan semenjak sayap kupu-kupu Wiggy rusak. Perlahan, gadis itu merentangkan kedua tangan, menikmati desir angin menerbangkan anak rambutnya seperti gorden pada jendela.
“Lihat, Wiggy! Kita terbang seperti dulu!” seru gadis itu, berusaha mengalahkan deru angin.
“Benar, karena Vesta adalah sayap baru kita,” jawab Wiggy sambil mengeratkan pelukannya.
***
Perjalanan mereka berhenti setengah jam kemudian. Hamparan padang rumput terlihat sejauh mata memandang, beberapa petak bunga tulip, tanaman paku, serta dandelion seolah menyatu dengan langit biru. Perpaduan warna sempurna layaknya lukisan, dan Lillian tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Sekelompok kupu-kupu mendekat, hinggap sedetik di dahi, lantas pergi saat hendak ditangkap. Tiba-tiba, Vesta melesat di depan Lillian, berlari dan melompat kegirangan mengelilingi ilalang tinggi seperti seekor anjing. Gadis itu terkikik melihat tingkah si kuda.
“Cuaca yang bagus untuk piknik, ‘kan?”
“Tapi kita tidak menyiapkan apa pun untuk piknik ....”
Begitu Lillian menoleh, ternyata Wiggy menenteng sebuah tas besar. “Kita memang tidak menyiapkan apa pun, tapi aku menyuruh para Elf menyiapkan segalanya .... Berhenti, Lilly! Biar aku saja!” Pemuda itu mencegah Lillian yang hendak membantu. “Hari ini aku akan memanjakanmu seperti Nyoya Besar.”
Lillian membalas dengan gerakan hormat ala putri raja, kemudian duduk anggun pada onggokan batang kayu terdekat. Memperhatikan Wiggy menggelar tikar, mengeluarkan keranjang berisi bekal, juga botol minuman, dan peralatan makan lainnya. Setelah selesai, pemuda itu menghampiri Lillian dengan langkah teratur yang elegan. Tangannya terulur diiringi dagu terangkat formal.
“Marilah, Nyoya Lilly. Pikniknya sudah siap.”
Setelah berhasil menahan tawa, Lillian ikut menaikkan dagu, menerima uluran tangan tersebut. Mereka bergandengan menghampiri tikar, serempak duduk berhadapan di depan hidangan muffin cokelat berhias krim tinggi.
“Silakan, Nyonya Lilly ....” Pemuda itu menyodorkan satu muffin kepada Lillian. “Para Elf membuatnya spesial dengan krim keju untuk ulang tahunmu.”
“Terima kasih, Tuan Edwig. Ayo, kita makan!”