Phillip bekerja di Pertanian Navis tepat seminggu setelah ulang tahunnya yang ke enam belas, sampai sekarang hampir setahun ia bekerja di pertanian luas khusus gandum dan jagung tersebut. Memang hanya sampingan, sebab dari pagi sampai siang pemuda itu ikut kursus akademis di Kota Briston.
Namun, penghasilan yang didapatnya lumayan, rekan-rekan di pertanian pun menyenangkan. Bahkan sang pemilik—Bernard Navis—merupakan pria paling murah hati di dunia. Memperlakukan para pekerja layaknya keluarga. Itu sebabnya tidak pernah ada pengunduran diri di pertanian Navis, sebagian besar pensiun akibat usia atau kondisi tubuh yang tak mampu bekerja lagi.
“Aku yakin keluarga Navis sebenarnya utusan yang dikirim Tuhan untuk menolong banyak orang,” kata Oscar sambil terus menyumpal mulut dengan kornet gulung sebagai menu makan siang mereka hari ini. “Semoga mereka diberikan umur panjang!”
“Benar, tapi kau mau makan berapa banyak? Sisakan juga untukku, dasar Rakus!” serobot Fredie sambil menepis tangan gempal Oscar dari nampan. Tentu saja Oscar tidak terima dan menampar balik. Akhirnya mereka saling tampar seperti anak kecil.
“Hentikan! Kalian tidak ada sopan santunnya sama sekali di depan makanan!” Omelan Gordon barusan membuat keduanya sigap mematung.
Pemuda itu memisahkan beberapa makanan pada piring, lalu menyodorkannya kepada seseorang di pojok gazebo yang sedari tadi belum terlihat menyuap apa pun.
“Makanlah, Raph. Sebelum dua Hyena itu menghabiskan semuanya!”
Gordon menggeleng maklum saat Raphael menerima piring tersebut tanpa sepatah kata pun, bahkan tidak segaris senyum. “Untung ada kau, Phillip. Mengurus tiga anak abnormal sudah cukup buruk, tidak perlu bertambah satu lagi.”
Phillip tertawa renyah menanggapi keluhan itu, lalu kembali fokus pada makanannya yang hampir habis. Pekerja di Pertanian Navis sangat banyak, beragam usia, baik laki-laki maupun perempuan. Tugas-tugas pun dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai kemampuan. Phillip kedapatan bagian ladang bersama empat orang lainnya. Maka dengan keempat orang itulah ia berteman dekat. Ada Oscar yang bertubuh subur, dia pirang dan pucat, persis jagung montok.
Selanjutnya ada Fredie, badut dalam kelompok. Jika musim gugur, ia bisa berkamuflase di tanah berkat rambut merah serta bercak cokelat yang hampir memenuhi seluruh tubuhnya. Kemudian ada Raphael, si irit bicara, tapi pekerja keras. Phillip paling suka dipasangkan dengannya kalau sedang membajak tanah, karena tugas akan cepat selesai tanpa harus berbasa-basi. Terakhir ada Gordon, senior juga ketua dari kelompok itu. Usianya sekitar awal dua puluhan. Dia berkulit gelap, sangat tinggi dengan otot-otot atletis. Banyak perempuan menyukainya, tapi entah terlalu cuek atau memang tidak ada yang cukup cantik, Gordon tidak pernah serius menanggapi mereka.
“Lihat, Gordon dan adik kesayangannya. Kau tahu, Phillip? Sebelum ada kau, aku pernah jadi adik kesayangan Gordon juga!” Fredie mencebik sendu.
“Demi Tuhan! Aku tidak pernah menganggap kalian adik. Aku bahkan tidak sudi memiliki adik-adik aneh seperti kalian!” erang pemuda itu. “Hanya saja, perangai Phillip menunjukkan kalau dia terpelajar. Kalian seharusnya tiru itu, bukannya malah cemburu seperti bocah lima tahun!”
“Baik, Sir!”
“Lihat itu! Satu lagi orang yang menjadikan Phillip kesayangan.” Oscar menunjuk jauh ke depan.
Seorang gadis berlari kecil mendekati gazebo mereka sambil menenteng keranjang anyam. Dia terlihat paling bersinar di antara para pekerja, karena dia memang bukan salah satu dari mereka. Namanya Wednesday, alias Wendy. Anak bungsu keluarga Navis yang tidak pernah terlihat selain dari balik jendela, tapi semakin sering mengunjungi kebun belakangan ini, tepatnya semenjak Phillip mulai bekerja. Gadis itu bahkan selalu menghampirinya di jam istirahat, sekadar menyapa atau memberikan sesuatu, seringnya makanan manis seperti kukis atau kue. Hal itu menjadi salah satu alasan Oscar bersyukur telah berteman dengan Phillip.
“Asyik, apa makanan yang dibawanya kali ini.” Pemuda gempal itu menggosok-gosok kedua tangan penuh minat.
“Hai, Phillip!”
“Halo, Wendy!” Malah Oscar dan Fredie yang membalas, sementara Phillip hanya menyunggingkan senyum.
Wendy melepas topi jeraminya, membersihkan sedikit lapak dengan sapu tangan sebelum ikut duduk di sebelah Phillip, dan menyodorkan keranjang di tangannya. “Aku membawakanmu brownies. Resep rahasia buatanku sendiri, loh.”
“Terima kasih.”
“Ayo dicoba! Aku ingin melihat reaksimu saat makan brownies buatanku.” Gadis itu mengerjap cepat. “Berikan pendapatmu juga, ya.”
“Tapi aku baru selesai makan, rasanya tidak sanggup lagi memakan kue-kue ini.” Phillip menoleh kepada teman-temannya seolah meminta bantuan. “Bagaimana kalau kau saja, Oscar. Dia ahli soal makanan,” lanjutnya kini menatap Wendy.
“Wah, dengan senang hati!”
“Tidak!!!” Wendy berseru galak saat Oscar hendak menyambar keranjangnya. “Aku membuat ini khusus untukmu, Phillip. Aku mohon, cobalah barang satu gigitan.”
Phillip mendesah pelan, dia tidak pernah tahan dengan wajah memelas perempuan. “Yah, satu gigitan tidak akan membunuhku ....”
Pemuda itu meneliti sejenak potongan brownies tersebut, warnanya lebih ke krem daripada cokelat gelap seperti yang sering dibuat Lillian, dan teksturnya terlihat kasar seperti kue biasa. Ia mengambil satu gigitan sesedikit mungkin.
“Bagaimana rasanya?”
“Ini enak.”
Ekspresi berbinar Wendy memudar. “Cuma itu? Coba katakan lebih jelas lagi. Mungkin ada yang bisa ditingkatkan agar resepku semakin sempurna.”
Pemuda itu menggaruk rambut hitamnya. “Aku ... sungguh tidak tahu apa pun tentang makanan ....” Terdengar suara lonceng tiga kali yang menjadi pertanda istirahat selesai. Phillip mengembuskan napas lega, lantas membuntuti teman-temannya menuju ladang. “Kue buatanmu enak, Wendy, sungguh!”
“Tapi itu kan brownies ....” Wendy bergumam sendu, tapi akhirnya gadis itu tersenyum, dan melambaikan tangan penuh semangat kepada Phillip sebelum berlari pulang.
Fredie segera menjajarkan diri dengan pemuda itu sambil menggeleng takzim. “Anak itu benar-benar menyukaimu, Sobat! Dia bahkan rela panas-panasan, membakar kulitnya yang sehalus mutiara itu cuma demi kau.”
Oscar ikut mendekat. “Kira-kira apa yang dilihat Wendy darimu?”
“Dia hanya berusaha ramah dengan para pekerja,” tutur Phillip, benar-benar tidak mau membahas hal itu.
“Para pekerja? Matanya tidak pernah berpaling darimu! Dia bahkan tidak melirik kami sama sekali, pikirnya kami ini orang-orangan sawah.” Oscar berseru sendu. Lebih karena gagal mencicipi brownies. “Keluarga Navis memang baik hati, tapi Wendy pengecualian! Dia pilih kasih!”
Fredie menjentikkan jari. “Kenapa kau tidak jadikan Wendy sebagai pacar saja, lalu suruh dia memanjakan kita!”
Oscar mengangguk semangat. “Benar, Phillip! Bilang padanya ‘kalau kau mengabaikan teman-temanku, kita tidak usah bertemu lagi!’ Oh, dia pasti menurut!” Pemuda itu meniru gaya bicara Phillip versi konyol.
“Belum lagi dia sangat kaya! Suruh juga dia minta ayahnya untuk menaikkan gaji kita, supaya aku bisa membeli alat pancing baru yang mengilap itu. Ingin sekali aku memilikinya secepat mungkin!”