After Fair Ending (Phillip and Lillian)

Impy Island
Chapter #7

Harold & Ellinor (Sejarah Keluarga Grace)

Harold telah melihat beribu keanehan selama sembilan belas tahun hidup di dunia, terlebih lagi di Hutan Tomer yang memang menjadi tempat lahirnya segala keanehan. Akan tetapi, seaneh apa pun peristiwa paling aneh di Hutan Tomer, semuanya masih bisa dijelaskan dengan akal sehat. Kecuali satu hal yang terjadi hari ini. Satu-satunya kejadian yang mungkin tidak akan pernah dilupakan oleh pemuda itu sepanjang sisa hidup.

Saat itu hari sudah petang, malam akan segera menjemput tapi hewan buruan belum juga didapat. Harold tidak ingin hanya menyantap sayur dan jamur untuk makan malam, itu tidak akan memuaskan rasa laparnya. Oleh sebab itu, ia berjalan lebih jauh ke dalam hutan, tepatnya menuju danau.

Harold bertekad, setidaknya bisa membawa pulang burung gereja atau ikan, sebutir telur juga kedengaran lezat. Pepohonan dan semak semakin rindang, angin berembus sejuk bagai pertengahan musim gugur. Dedaunan kering mengeluarkan bunyi renyah saat terinjak, mengiringi riak air, serta aroma tanah basah semakin menyengat.

Alih-alih hewan buruan, Harold malah menemukan seorang gadis yang tengah memperjuangkan hidupnya di tengah danau. Fakta bahwa gadis malang itu nyaris tenggelam, tidak seburuk kenyataan bahwa ada rantai berujung bola besi yang mengikat kedua kakinya. Jelas-jelas seseorang memang berencana mencelakai gadis malang ini, pertanyaannya adalah siapa, dan mengapa. Harold penasaran setengah mati, tapi sebanyak apa pun bertanya, gadis itu enggan menjawab. Mata sehitam tintanya terlihat kosong setelah menyebutkan nama.

Ellinor. Nama yang indah, tapi Harold tidak mungkin melontarkan basa-basi konyol, ketika gadis ini terlihat begitu ketakutan serta kebingungan. Tadinya Harold ingin membawa Ellinor ke Pusat Kependudukan Briston, mungkin petugas di sana memiliki data-data tentang gadis itu. Akan tetapi, matahari sudah lama tenggelam sementara perjalanan ke sana lumayan jauh. Ditambah kondisi Ellinor yang berpotensi semakin tertekan jika diberondong pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian tragis yang baru dialaminya.

Maka dari itu, keputusan terakhir Harold adalah membawa gadis malang ini ke rumahnya. Hunian sederhana, berpondasi batu bata merah dengan atap keramik, serta cerobong asap kecil. Terlihat dua jendela pada masing-masing sisi rumah, menandakan rumah itu memiliki dua kamar. Harold membimbing Ellinor melewati pagar kayu kokoh setinggi pinggang, berjalan lebih dulu untuk membuka kunci. Bagian dalam dari rumah sederhana itu persis seperti gambaran rumah pemuda yang masih bujang.

Tumpukan baju di sembarang tempat, tidak terlihat mana yang bersih atau kotor. Peralatan makan tergeletak di mana-mana, beberapa masih diisi makanan sisa yang mengeluarkan aroma tak sedap. Setiap bufet berdebu, dipenuhi perkakas bekas memperbaiki sesuatu. Sofa panjang di ruang tamu pun dipenuhi tumpukan baju serta buku-buku, dan Harold segera mengangkat barang-barang tersebut, lantas melemparnya ke ujung ruangan.

“Maaf berantakan. Duduklah dulu, aku akan menyiapkan baju ganti untukmu.” Pemuda itu buru-buru berlari ke sebuah ruangan berpintu mahoni cokelat, diikuti suara gaduh setelahnya.

Daripada menurut, Ellinor memilih berkeliling ruang tamu. Memperhatikan setiap detail tempat yang tidak tertata rapi, alias seluruh tempat. Bahkan gudang di loteng rumahnya dulu lebih rapi dari seluruh rumah ini. Mengingat rumahnya, Ellinor merinding, memeluk diri lebih erat. Tatapan itu, tarikan tangannya, suara yang mengerikan. Gadis itu nyaris menangis lagi, tapi matanya segera menangkap sebuah pigura yang tergantung pada dinding. Satu-satunya perabot mengilap di seluruh rumah, dan entah mengapa itu membuat hatinya hangat.

Kedua tangan yang sejak tadi memeluk diri sendiri akhirnya terentang guna mengambil pigura itu. Ada tiga orang berdiri di sana, pria dan wanita paruh baya yang mengapit seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun. Dari pakaian yang dikenakan, Ellinor menebak mereka berasal dari kalangan atas. Mewah dan elegan, wajah ketiganya juga bersahaja, terlihat jelas bahwa mereka saling menyayangi dan bangga terhadap satu sama lain. Kemudian Elli kembali menerawang sekitar, wajahnya menunjukkan keheranan serta sendu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Hei, pakaiannya sudah siap. Kau mau membersihkan diri dulu?”

Ellinor menoleh masih dengan ekspresi yang sama sehingga Harold tidak melanjutkan ucapannya, dan membiarkan gadis itu bicara lebih dulu.

“Di mana orang tuamu?”

Meski bingung, Harold senang dia sudah mau bicara. “Mereka tinggal di pulau seberang, sangat jauh dari sini.”

“Mereka mengusirmu dari rumah?” Manik hitam Ellinor berkaca-kaca, menunjukkan begitu banyak simpati, atau malah berusaha mencari simpati yang sama dari pemuda di depannya.

“Tidak, mereka tidak mengusirku. Aku yang ingin pergi ....”

“Mereka tidak menginginkanmu, lantas berlaku kasar kepadamu sehingga kau pergi dari rumah, karena kau ingin bebas?”

Pemuda itu mengernyit. “Kenapa kau bisa berpikir begitu?” Dia mengambil pigura dari tangan Ellinor, dan menatapnya sambil tersenyum. Dari situ Ellinor sadar, sekeras apa pun mencari, simpati yang sama tidak akan ia temukan. Nasib mereka bagaikan langit dan bumi, tidak akan ada saling mengerti, atau pemahaman dari hati ke hati.

“Mereka menyayangiku sebanyak aku menyayangi mereka. Orang tuaku bahkan mengizinkan saat aku bilang ingin merantau jauh dari rumah, padahal usiaku baru lima belas tahun. Ibuku memang menangis semalaman, tapi dia tidak melarang. Bahkan, mempersiapkan segala perbekalan untuk kepergianku.”

Harold menggantung pigura keluarganya di tempat semula, dan menatapnya sejenak dengan sorot rindu. Seolah menyadari sesuatu, senyum pemuda itu lenyap seiring perhatiannya beralih kepada gadis di sebelahnya. “Kenapa kau berpikir begitu, Elli?”

Sayangnya, Ellinor kembali bungkam, memusatkan perhatian pada lantai. Kedua tangannya kembali memeluk diri sendiri yang kini mulai gemetar, tatapan mata yang tersakiti itu lagi-lagi kosong. Harold mengembuskan napas pasrah, memutuskan untuk membimbing gadis itu ke depan kamar yang tadi sudah disiapkan.

“Sebaiknya ganti pakaianmu sebelum masuk angin. Aku akan memasak sup untuk makan malam kita. Kau jangan sungkan kalau mau tidur atau ke kamar mandi. Letaknya di sana ....” Pemuda itu menunjuk pintu putih di ujung kamar. “Anggaplah rumah sendiri.”

Ellinor sering diperlakukan baik oleh banyak orang, entah laki-laki maupun perempuan. Malahan, ia tidak pernah diperlakukan buruk sama sekali. Namun, ia juga belum pernah melihat kebaikan yang disampaikan setulus ini. Rasanya tidak ada waktu untuk curiga atau ragu, tidak ada prasangka buruk, seolah niat buruk tidak pernah ada di dunia. Akhirnya gadis itu mengangguk sambil tersenyum.

“Terima kasih, Harold.”

Herold membalas senyuman itu sebelum menutup pintu. Sendirian di dalam kamar, Ellinor kembali memperhatikan seisi ruangan. Dari setumpuk rongsokan di pojok, ia dapat menebak kalau kamar itu baru saja dibersihkan secepat mungkin sehingga hanya ranjang tunggal dan meja baca yang terlihat rapi. Gadis itu menghampiri lipatan pakaian di atas ranjang, kaus merah gelap berlengan panjang, serta celana kain cokelat. Dua potong pakaian itu membuat wujud Ellinor persis orang-orangan sawah, tapi ia tidak mengatakan apa pun karena setelan itu cukup hangat dan teransa nyaman pada tubuhnya.

Begitu keluar kamar, hidung Ellinor langsung mencium aroma bawang dan lada dari arah dapur, diikuti suara bising peralatan dapur yang beradu. Gadis itu menghampiri asal suara, lantas melihat Harold tengah sibuk di depan kompor. Beberapa kali pemuda itu berjongkok untuk mengatur besar api, lalu cepat-cepat berdiri guna mengaduk sup kental di dalam kuali. Tanpa sadar Ellinor tersenyum, ia tidak pernah melihat seorang lelaki memasak sebelumnya. Para pemuda di desa asalnya seolah alergi bahkan hanya dengan menginjak dapur, mereka bilang dapur adalah tempat khusus wanita, atau lelaki kemayu.

“Ada yang bisa kubantu?” tuturnya nyaris berbisik ketika berada persis di belakang Harold.

Pemuda itu memekik sambil berjengit sampai membentur rak piring di sisi kanan kompor. Kelopak matanya mendelik seolah baru melihat hantu, tapi langsung menghela napas saat bertatapan dengan si pemilik suara yang juga terkejut setengah mati.

“Astaga, Elli! Kau hampir membuatku gagal jantung.”

“Ya ampun, maaf! Aku tidak bermaksud mengagetkanmu.” Ellinor ikut gelagapan, membantu Harold merapikan gelas dan piring yang jatuh ke lantai, untungnya tidak ada satu pun yang pecah.

Pemuda itu balas meengusap tengkuk dengan wajah merah. “Yah, tentu saja ini bukan salahmu. Aku memang orang yang mudah kaget saat terlalu fokus melakukan sesuatu,” katanya sambil kembali mengecek masakan di dalam kuali. “Kau tunggulah di meja makan, masakannya hampir matang. Aku harap kau suka sup jamur.”

“Aku tidak mau merepotkanmu, biarkan aku membantu sesuatu.”

Harold menahan bahu Ellinor ketika hendak mengatur api tungku. “Bantu aku dengan istirahatkan tubuhmu di meja makan. Kau pasti lelah.”

Manik hijau pemuda itu menyorot serius, tapi tetap terkesan tulus sehingga Elli tak kuasa menolak. Tidak sampai lima menit, Harold sudah menyusul ke meja makan dengan dua mangkuk berisi sup kental berwarna krim, serta seteko air. Mereka sempat bertukar senyum tipis sebelum mulai makan, dan Ellinor yang pertama mencicipi sup itu.

Harold melirik beberapa kali, meski tidak bilang langsung, ia ingin tahu bagaimana pendapat gadis itu terhadap masakan kebanggaannya. Ekspresi awal Ellinor benar-benar mengkhawatirkan, dia mengernyit dan mengecap beberapa kali. Bibirnya miring ke kanan dan kiri layaknya koki senior galak tengah melantik koki junior. Detik berikutnya manik hitam itu malah menyorot lurus kepada Harold.

Lihat selengkapnya