“Phillip!”
Si pemilik nama menoleh, bibir yang tadinya tersenyum langsung berubah datar, bahkan bola matanya berputar sekilas sebelum kembali fokus pada kegiatan awal. Wendy jarang berlari, tapi hari ini ia melakukan itu selama hampir satu jam. Berkeliling ladang luas demi seseorang, yang akhirnya ia temukan di salah satu petak kebun jagung, bersama dua pekerja lain. Keduanya menatap Wendy penasaran.
“Wendy, kau baik-baik saja?” Salah satu pekerja menegur, terlihat khawatir dengan napas satu-dua gadis itu. “Duduklah dulu, aku akan memberimu air.”
Gadis itu mengabaikannya. “Phillip, mau sampai kapan kau marah? Katakan saja apa yang harus kulakukan supaya mendapatkan maaf?”
Phillip sengaja tidak menoleh, karena tahu akan lebih mudah luluh kalau berhadapan langsung dengan manik hazel yang memelas itu. Namun, sikap tak acuhnya juga yang membuat Wendy semakin panik.
“Kau tidak bisa mengabaikanku selamanya, Phillip! Itu tidak adil untukku. Jadi ayo kita bicarakan ini sekarang juga!”
Terjadi keheningan cukup lama, Phillip berusaha fokus menyemprot air pada jagung-jagung yang mengalami kekeringan, tak berniat melirik barang sejenak. Beberapa waktu berlalu, pemuda itu pikir Wendy akhirnya menyerah dan pergi, tapi tak lama Gordon mendekat kepadanya dan berbisik.
“Hey, Phill. Bicaralah padanya sebentar. Kalu tidak, dia akan menangis!”
Tentu saja Phillip langsung menoleh, mendapati Wendy tertunduk meremas rok dari gaun mewahnya sampai kusut. Sesekali terdengar isakan, meskipun belum sampai mengeluarkan air mata. Mau tidak mau pemuda itu menyerahkan selang air kepada Oscar yang sedang beristirahat sehingga dia mengeluh keberatan. Phillip membimbing Wendy beberapa langkah menjauh agar bisa bicara empat mata.
“Kau sampai sebegitunya marah padaku ....”
Pemuda itu mendengkus. “Aku bukan marah padamu, Wendy. Aku hanya terkejut dan kecewa dengan perilakumu kemarin!”
“Aku tidak bermaksud begitu, Phillip.”
“Wendy, kau berasal dari keluarga terpandang juga terpelajar, tapi kau bahkan tidak bisa duduk tenang di rumah orang lain! Kau memandang rendah ayahku, bahkan membohongi adikku!” Selagi Phillip mengoceh, gadis itu diam tertunduk. “Kau bebas bertingkah sembrono, angkuh, merendahkan orang, bahkan seenaknya sendiri di sini, dan aku akan menerimanya karena seluruh pertanian Navis adalah rumahmu. Tapi saat kau bertingkah demikian di rumah orang lain, itu sangat keterlaluan!”
“Ditambah kau tidak ada niat minta maaf, justru kabur bersama sopir kereta kuda yang katamu sudah pulang, yang kau jadikan alasan untuk bertamu ke rumahku pukul tujuh pagi padahal kita membuat janji pukul tiga sore!” Phillip mengatakan itu dengan satu tarikan napas, sampai ngos-ngosan sendiri.
Sedangkan Wendy semakin tak berani mendongak. “Maaf ....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
“Pulanglah, Wendy! Aku banyak pekerjaan!”
Jarak dari petak kebun itu ke rumah keluarga Navis sangat jauh, Phillip juga tahu. Jika emosinya normal, ia pasti mengantar Wendy sampai depan pintu rumahnya, yang diam-diam juga diharapkan oleh gadis itu. Sayangnya, Phillip terlalu emosi, ia kembali mengambil alih tugas menyiram dari Oscar. Beberapa menit pemuda itu tidak menoleh lagi, dan Wendy pun kehilangan harapan.
“Aku bisa mengantarmu, Wendy. Tunggulah di sini, aku akan mengambil kudaku.” Gordon berbaik hati menawarkan.
Tanpa menjawab gadis itu berbalik dan berjalan cepat dengan tatapan lurus menuju ke rumahnya.
“Taruhan, bahkan Tuan Navis tidak pernah bicara pakai intonasi begitu kepadanya,” ujar Oscar yang masih menatap nelangsa kepergian Wendy. “Kau benar-benar tidak tertarik pada Wendy ya, Phill? Kupikir selama ini kau hanya sok jual mahal.”
Phillip mendesah cepat. “Kalau kau melihat kelakuannya kemarin, kau pasti berpikir dua kali untuk tertarik.”
“Setelah dipikir lagi ... kalau aku terbangun melihat wajah secantik Wendy sedang mengaggumiku, rasanya aku malah akan senang.”
“Ya, bagi orang dungu sepertimu privasi memang tidak penting,” ketus Gordon, membuat pemuda berambut pirang itu mencebik sendu, berharap ikut bersama Freddy saja di ladang gandum daripada terjebak bersama dua orang yang tak punya selera humor. “Aku pribadi tidak menyukai sikap angkuh anak itu. Kau lihat caranya menjawab tawaranku tadi? Menyakitkan sekali!” Pemuda bermata cokelat itu melanjutkan.
“Dia berpikir bisa melakukan segalanya, bahkan mulai berbohong supaya keinginannya dituruti, dan semua orang memaklumi. Berkata bahwa wajar saja karena dia anak bungsu, juga anak orang kaya yang selalu dimanja dan sebagainya.” Pemuda itu berceloteh dengan ekspresi kesal. “Tentu dia bisa melakukannya di sini, atau di mana pun tempat orang-orang menyanjungnya. Tempat itu jelas bukan di rumahku!”
Gordon dan Oscar saling lirik, terkejut juga mendapati orang setenang Phillip bisa mengeluarkan kalimat sepedas itu. Akhirnya Oscar tidak membalas lagi, melanjutkan istirahatnya dengan mengudap sepotong kue.
“Sudahlah, Phill. Aku rasa Wendy begitu karena dia menyukaimu. Kau tahu orang-orang melakukan hal bodoh karena cinta.” Gordon tersenyum merangkul Phillip. “Lihat saja pancaran matanya setiap bertemu denganmu, apa lagi kalau kau sampai tersenyum untuknya. Aku yakin dia langsung menulisnya dalam buku harian, dan menandai hari itu sebagai hari terbaik.”
Akhirnya Phillip menoleh dan tersenyum. “Kau memperhatikan semua itu, Gordon? Jangan-jangan kau yang menyukai Wendy.”
“Apa? Dia bukan tipeku!” elak pemuda itu segera. “Justru kau satu-satunya orang yang tidak memperhatikan ketertarikan Wendy padamu. Bisa-bisanya mengabaikan seorang Wednesday Navis di saat pemuda lain rela melakukan apa pun demi mendapatkan perhatiannya.”
“Mungkin dia juga bukan tipeku.” Phillip mengangkat bahu sekilas.
“Kau punya tipe juga? Wow, aku penasaran orang seperti apa yang bisa memikat hatimu. Pasti gadis yang menarik.”
Saat itu juga Phillip tertegun. Tentu saja dia gadis yang menarik, segala hal yang Phillip sukai dari seorang perempuan ada padanya. Bahkan, rasa itu masih ada sampai detik ini, padahal sudah dua tahun berlalu saat mereka mengucapkan ‘sampai jumpa lagi’. Gordon mengingatkan Phillip pada kenangan terindah, tapi juga terburuk dalam hidupnya. Membuka kembali kenangan lama yang berusaha ditutup, tapi belum juga berhasil karena ia tidak pernah menginginkannya tertutup sama sekali.
“Omong-omong bagaimana laporan ke Tuan Benson? Kapan sistem irigasinya diperbaiki? Kita tidak akan selamanya menyirami ladang secara manual, ‘kan?”
Ekspresi merengut Gordon menandakan rencana Phillip untuk mengalihkan pembicaraan berhasil. “Astaga, bagaimana bisa semua pertanyaan itu keluar dari mulutmu sekaligus!” cibirnya. “Aku harus mulai dari mana ... percakapan dengan Tuan Benson berjalan lancar, bahkan terlalu lancar sampai aku ragu dia menganggapnya serius. Dia tidak memberi respons tegas atau memberi intruksi lebih lanjut, bahkan hanya bilang ‘akan kulaporkan pada Tuan Navis segera’ Oh, dan aku yakin saat dia bilang segera maksud sebenarnya adalah tidak akan pernah!”
Dahi Phillip terlipat memikirkan hal itu. “Saat apel pagi pun Tuan Navis tidak membahas apa pun tentang kincir air, dia bilang semua berjalan sempurna seperti seharusnya.” Pemuda itu memandang sekitar, sepi dan luas. “Area ladang ini memang terpencil, mungkin tidak terjangkau pantauan anggota patroli.”
“Atau anggota patroli berusaha menyembunyikan sesuatu,” bisik Gordon.
“Mereka orang-orang kepercayaan Tuan Navis! Tuan Benson bahkan iparnya, ‘kan?”