Suasana pagi itu sangat cerah. Sinar matahari sudah menelusup di antara tirai jendela kamar Putra. Burung-burung yang bertengger di dahan pohon pun sudah berkicau dengan merdu. Namun, sang pemilik kamar masih meringkuk di bawah selimut tebalnya yang nyaman.
Putra baru begadang semalaman, menamatkan PC game yang baru dibelinya kemarin sore. Suara kicauan burung masuk ke telinganya dan membuatnya membuka sebelah kelopak mata. Detik berikutnya, dia kembali menutupnya karena terlalu silau.
“Tuan, sudah siang. Tuan harus berangkat ke sekolah.”
Sayup-sayup Putra mendengar sebuah suara, yang jelas-jelas bukan kicauan burung. Itu suara Munah, salah seorang dari sekian banyak pelayan di rumah ini. Putra tidak menanggapi kata-kata Munah. Dia hanya menggaruk-garuk pipi, lalu kembali berusaha masuk ke alam mimpi.
“Tuan, ini sudah jam enam.”
Putra berusaha mengingat apa mimpi terakhirnya, tetapi dia sudah tak bisa berkonsentrasi. Suara Munah yang berfrekuensi tinggi menggetarkan gendang telinganya. Burung-burung itu pun terlalu berisik. Kicauan burung ternyata tidak selamanya indah, terutama mereka yang jadi backing vocal Munah. Putra memejamkan mata lebih rapat, dahinya sampai berkerut saking kerasnya berkonsentrasi.
“Tuan, nanti terlambat, lho.”
“Arghhh,” gumam Putra kesal, akhirnya benar-benar terbangun setelah yakin tidurnya tak akan tenang lagi. Setelah mengucek matanya keras-keras, Putra menatap jam di meja sampingnya. Memang sudah pukul 06.00.
“Tuan ….”
“Iya, iya!” sahut Putra cepat-cepat. Setelah itu, suara Munah tak terdengar lagi. Putra menguap lebar-lebar, lalu meregangkan tubuhnya.
Putra bangkit dan bergerak malas ke kamar mandi. Dia membubuhkan pasta gigi ke sikat giginya, dan mulai menyikat gigi. Sambil melakukan itu, dia berjalan ke pintu balkon, membukanya, lalu keluar untuk melihat suasana pagi di rumahnya.
Putra menyipitkan mata untuk melihat kesibukan kecil yang sudah menjadi rutinitas di rumahnya. Ada Udjo yang sedang mengelap mobil ayahnya, Sarman yang sedang mengelap mobilnya, Slamet yang sedang menyapu halaman yang sudah terlalu bersih, Yuda yang sedang mengelap kantornya alias pos satpam, dan Rini yang sedang nongkrong di sana setelah membuat kopi untuk mereka semua.
Putra menyikat giginya lebih keras saat melihat ayahnya keluar rumah untuk berangkat ke kantor. Sebelum masuk ke mobil, ayahnya sempat meliriknya, tetapi Putra hanya balas menatapnya kosong sampai mobilnya menghilang di balik gerbang depan.
Tangan Putra berhenti menyikat, lalu dia menghela napas. Kehidupan yang sama setiap hari. Kehidupan yang nyaris membosankan. Untung saja ada game-game yang selalu setia menemaninya.
“Tuan! Tuan jangan bengong aja! Entar banyak tetangga naksir, lho!” sahut Rini dari pos satpam.
Putra cuma menatap datar orang-orang yang nyengir di bawahnya, lalu masuk untuk mandi. Sekarang, Putra harus bersiap-siap untuk satu lagi kehidupannya yang membosankan: sekolah.
Putra mematikan mesin Strada-nya, lalu melepas sabuk pengaman. Hari ini, seperti biasa, tempat parkir mobil selalu penuh. Putra menyambar ransel di jok samping, lalu melompat keluar dan menguncinya. Dengan segera, Putra merasakan firasat buruk karena bulu kuduknya tiba-tiba meremang.
“Putraaa!” sahut suara cempreng dari belakang, dan Putra tidak perlu repot-repot menengok untuk mengetahui siapa pemiliknya. Putra malah meneruskan perjalanannya ke sekolah.
“Putra jahat, ih, nggak nungguin!” sahut pemilik suara itu genit sambil menggamit lengan Putra. Putra meliriknya sebentar, lalu kembali berjalan seperti tak terjadi apa pun.
Cewek di sebelahnya ini bernama Rachel, anak pemilik yayasan tempat Putra bersekolah. Dan, kejadian seperti ini pun sudah terlalu sering dialaminya, jadi Putra sudah tidak begitu peduli lagi.
Putra menyeberang jalan karena sekolah dan area parkir sekolahnya berada berseberangan. Genggaman Rachel di lengan Putra terasa lebih erat.
“Putra, Rachel takut banget nyeberang …,” kata Rachel, tak sadar kalau Putra membuka bibir untuk mengulang kata-katanya, hanya saja tanpa suara. Putra sudah hafal betul kalimat favorit cewek itu setiap paginya, dan Putra sudah tak mau capek-capek lagi mengingatkan kalau ada petugas yang siap menyeberangkan mereka karena Rachel sepertinya mendadak tuli kalau diingatkan.
Setelah berhasil menyeberang, dengan segera satpam sekolah menyapa mereka berdua dengan nada manis yang berlebihan. Putra sudah sering kali menyuruh mereka agar bersikap biasa, tetapi kedua pria berusia pertengahan 20-an tahun itu seperti kena hipnotis kalau ada Rachel di dekat mereka.
Mereka pun masuk ke koridor yang sudah dipenuhi oleh anak-anak berkemeja putih, berdasi biru tua, dan memakai bawahan kotak-kotak biru-abu-abu. Anak-anak itu otomatis berbisik-bisik ketika Putra dan Rachel lewat. Putra menggaruk kepala bingung, tak tahu lagi bagaimana caranya menghentikan mereka.
Rachel melirik Putra dengan senyum bangga, tangannya masih mencengkeram erat lengan cowok itu. Putra memang sangat keren, dan kenyataan bahwa Rachel selalu ada di sampingnya setiap pagi dengan tangan tertaut seperti ini membuat semua orang tak henti-hentinya memuji mereka sebagai pasangan serasi. Rachel tersenyum lebih lebar, nyaris tertawa untuk merayakan ini.
“Zi! Zia! Bantuin, dong!”
Sebuah suara membuyarkan lamunan Rachel. Mendadak, sekelebat bayangan muncul di hadapannya dan Putra, lalu sukses menabrak mereka.
“Hei! Hati-hati, dong!” Rachel mendelik seorang cewek yang sudah terduduk di lantai. Buku-buku yang tadi dibawanya bertebaran, tetapi Rachel tak peduli. Dia menoleh cepat ke samping. “Putra, kamu nggak apa-apa?”
Putra tak begitu mendengar kata-kata Rachel dan malah memperhatikan cewek yang terduduk sambil bengong di depannya. Putra tak pernah melihatnya sebelumnya.
Seorang cewek lain tahu-tahu muncul dengan tatapan heran. “Cle? Kenapa lo?”
Si cewek yang terduduk tiba-tiba sadar dan buru-buru membereskan buku-bukunya. “Elo, sih, Zi, main ninggalin gue aja!”
“Sori, sori,” kata cewek yang satunya lagi, lalu tak sengaja menengok dan melongo saat mendapati Putra berdiri di hadapan mereka.
Merasa tak enak dengan segala kebengongan ini, Putra mulai bergerak, bermaksud membantu cewek-cewek ini memungut buku-buku. Namun, jemari lentik Rachel menghentikannya.
“Ayo, entar kita terlambat masuk kelas,” katanya sambil menarik lengan Putra. Putra tak sempat menolak, lagi pula dia tidak punya banyak waktu untuk hal-hal kecil seperti ini.