Putra menutup pintu Strada, lalu menekan tombol di kunci mobilnya. Tak lama kemudian, terdengar suara cempreng menyambut kedatangannya. Putra mulai melangkah dan seperti biasa, Rachel menggamit lengannya erat-erat.
“Putra, Rachel takut nyeberang,” kata Rachel tepat sebelum mereka menyeberang, tetapi kali ini Putra tak mengikuti kata-katanya. Tiba-tiba saja pikiran ini terlintas di benak Putra.
“Eh, lo tahu sesuatu soal kelas After School?” tanya Putra setelah mereka berhasil menyeberang. Putra masih berjalan, tetapi ada sesuatu yang aneh. Beban yang biasa ada di tangan kanannya mendadak tak terasa. Putra menoleh, tetapi Rachel entah ada di mana.
Heran, Putra menengok ke belakang dan mendapati Rachel berada sekitar dua meter di belakangnya sambil menekap mulut. Putra menatapnya bingung.
“Putra ngajak ngomong Rachel!” sahutnya girang dengan mata berkaca-kaca, membuat Putra takut. “Ya, ampun! Putra ngajak ngo—”
“Iya, iya.” Putra memotong histeria Rachel yang mulai menarik perhatian orang-orang. Rachel sendiri akhirnya bisa mengendalikan diri setelah menyadari keadaan sekitar. “Jadi, lo tahu apa nggak?”
“Kelas After School?” ulang Rachel, tangannya sudah kembali menggamit lengan Putra. Mereka sekarang berjalan ke dalam area sekolah. “Tahu. Anak-anak yang ikut kelas itu nyebut diri mereka sendiri dengan After School Club. Mereka, kan, klub paling norak yang ada di sekolah kita.”
Putra melirik Rachel, tidak mengerti.
“Klub itu isinya orang-orang dodol semua,” sambung Rachel, membuat Putra tambah bingung. Rachel menghela napas. “Mereka tuh semuanya bego, itu sebabnya mereka disuruh masuk kelas After School. Itu adalah kelas tambahan setelah jam sekolah untuk orang-orang yang nilainya hancur. Kenapa, sih, Putra nanya itu?”
“Nggak ada,” jawab Putra cepat, tak mau menimbulkan kecurigaan berlebih.
“Dua cewek yang nabrak kita kemarin itu anggota tetap After School Club. Cewek-cewek dodol plus norak. Pokoknya yang masuk situ semuanya norak. Di samping tentunya, bego.” Rachel tertawa halus. “Amit-amit, deh, masuk situ.”
Putra tak menanggapi kata-kata Rachel. Mereka berbelok ke sebuah koridor dan tiba-tiba Rachel menunjuk sekumpulan anak-anak yang sedang bercengkerama di samping kolam ikan. Dua di antaranya familier bagi Putra, yaitu dua cewek yang menabraknya kemarin.
“Itu, bego nomer satu. Ketua After School Club. Cewek yang nabrak kita kemarin. Namanya Cleo.” Rachel menunjuk cewek mungil berambut pendek berwajah sedikit tembam, lalu menunjuk dua orang cowok yang mengapitnya. “Itu, bego nomer dua dan tiga. Kembar bego, Mario dan Ruby.”
Kedua cowok itu sekarang melakukan semacam atraksi break dance, tetapi tampak menggelikan bagi siapa pun yang melihatnya. Alih-alih terlihat cool dengan gaya kejang-kejangnya, mereka lebih seperti sedang terserang ayan. Orang-orang yang menyaksikan mereka sampai tertawa geli. Sekarang, Putra paham mengapa mereka dibilang kembar walaupun tidak mirip secara fisik.
“Seperti yang kamu lihat, mereka lebih kelihatan sinting daripada bego,” komentar Rachel, tidak tampak geli. “Terus itu, cewek sok cakep dan full make up yang kemarin kita lihat, adalah bego nomer empat. Zia.”
Putra mengikuti telunjuk Rachel yang mengarah pada cewek yang kemarin dilihatnya. Cewek itu sedang membubuhkan bedak ke wajah yang sudah seperti penerima tamu di acara nikahan.
“Dan, itu, cowok yang lagi duduk diam di pojokan namanya Panca, bego nomer lima. Cupu, out of date, pokoknya nggak banget.” Rachel bergidik. “Dan, itu, cewek yang lagi tepuk tangan sambil bengong itu, bego nomer enam. Namanya Tiar. Kalau kita ini Core i7, dia masih semafor. Itu istilah paling tepat buat dia. Anak-anak sisanya, aku nggak tahu karena mereka bukan tim inti. Tapi, yang pasti mereka anak buahnya Cleo juga.”
Putra menatap pemandangan itu pasrah. Sekarang, si kembar bego sedang melakukan atraksi selanjutnya. Entah apa Putra salah lihat, tetapi sepertinya kedua anak itu sedang melakukan gerakan-gerakan Naruto dan Sasuke saat sedang bertarung, dan cewek yang bernama Cleo malah bergabung sambil menggigit pensil dan melakukan gerakan-gerakan jari, bermaksud mengeluarkan jurus. Mungkin dia merasa dirinya Sakura atau siapa.
Putra menggelengkan kepala, tak percaya. Sebentar lagi, Putra akan bergabung dengan klub beranggotakan anak-anak dodol ini, dan mungkin saja dia akan menjadi bego ketujuh, atau malah jadi gila.
“Putra? Masuk kelas yuk, males banget lihat anak-anak dodol ini. Entar kita ketularan dodol, deh,” ajak Rachel, membuat Putra meringis tak jelas.
Kalau biasanya bel akhir sekolah adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu, sekarang Putra tidak merasa demikian. Putra tak pernah tidak menginginkan bel akhir sekolah seperti ini. Putra hanya tidak ingin mengikuti kelas After School itu.
Sepanjang pelajaran tadi, yang dipikirkannya hanyalah bagaimana dia akan masuk ke kelas penuh orang-orang aneh dan strategi apa yang bisa dia atur untuk melarikan diri. Namun, sebelum Putra sempat memikirkan caranya, wajah Latif sudah terbayang, kemudian, wajah ayahnya pun ikut terbayang.
Saat jam istirahat tadi, Latif sengaja datang ke kelas untuk mengingatkannya. Untung saja tidak ada seorang anak pun yang curiga saat Latif beralasan ingin memberikan tugas sebab besok dia berhalangan hadir. Latif juga memberi tahu ruangan mana yang harus didatangi Putra. Padahal, Putra berharap gurunya itu lupa sehingga ada alasan baginya untuk tidak datang.
Saat ini, Putra sedang berjalan malas menuju ruangan After School—kelas kosong yang hanya dipakai untuk keadaan tertentu saja, yang letaknya jauh dari bangunan sekolah utama. Singkatnya, ruangan itu adalah ruangan terpencil yang tidak diketahui keberadaannya sampai Latif memberikan denahnya kepada Putra.
Tak berapa lama, Putra sampai juga di koridor kelas itu. Putra melangkah gontai dan merasa perutnya mulas saat melihat pintu kelas yang dimaksud. Putra berharap dia salah menemukan kelas, tetapi pada pintu itu terpasang tulisan besar-besar di atas kertas HVS: AFTER SCHOOL CLUB. Putra tak mungkin salah.
Setelah menghela napas, Putra membuka pintu perlahan dan segera mendapati beberapa anak yang tadi dilihatnya di taman. Mereka sedang berkumpul di tengah ruangan, tampak sibuk melihat sesuatu sambil berteriak dengan heboh. Mereka tampak belum sadar kalau Putra ada di sana, sampai salah seorang dari mereka menoleh dan memergokinya.
“Eh?” gumamnya sambil menatap Putra bingung.
Putra balas menatapnya ragu selama beberapa saat. Putra mengenalinya sebagai Cleo, si Bego Nomor Satu.
“Ada perlu apa?” tanyanya, membuat perhatian semua orang yang ada di kelas itu teralihkan. Sekarang, semuanya melongo saat melihat siapa yang ada di pintu.
“Pangeran??” Zia melepaskan matanya dari cermin untuk menatap Putra tak percaya.
“Ah, sori, gue salah ruangan,” kata Putra cepat-cepat, seratus persen yakin tak mau berada di ruangan ini bersama anak-anak itu. Putra segera menutup pintu dan bergerak mundur, bermaksud untuk kabur. Namun, sebelum sempat melakukannya, sesosok pria bertubuh besar menghalangi jalannya.
“Putra, ya? Kamu sudah benar, kok, ini kelasnya,” katanya sambil menggiring Putra kembali ke kelas itu.
“Bu … bukan, Pak, saya bukan Putra, saya cuma kesasar .…”
Namun, usaha Putra sia-sia. Ramli sudah keburu menariknya dengan kekuatan super masuk ke ruangan kelas itu.
“Hai, Anak-Anak!” sahutnya dengan suara menggelegar, membuat anak-anak yang ada di kelas itu membalas sapaannya, tetapi segera bengong lagi saat melihat apa yang dipegang Ramli. “Hari ini saya punya tangkapan baru!”
“Bercanda!” sahut Mario, melompat dari jendela yang tadi dihinggapinya. Putra menatapnya datar.
“Tidak, tidak bercanda. Hari ini kalian kedatangan teman baru, namanya Putra. Ya, ya, Putra yang ini,” lanjut Ramli cepat, paham dengan kekagetan semua anak.
“Gue pikir tadi dia beneran salah kelas!” sahut Ruby, masih tak percaya.
“Nggak mungkin, dodol! Kelas ini ada di mana sampai dia salah kelas? Emang iseng!” sahut Cleo sambil memukul kepala Ruby dengan kipas kertas yang dipegangnya. Putra menatap Cleo yang tersenyum kepadanya, yang tentu saja tak dibalas.
“Yah, oke, kalau begitu, sekarang silakan duduk di … yah, di mana sajalah,” kata Ramli tidak peduli. Tampaknya, dia sudah terlalu terbiasa akan keadaan kelas ini.
Putra melangkah malas ke salah satu kursi yang tampak tidak berpenghuni, lalu mengempaskan tubuh di sana. Dia memutuskan untuk menatap papan tulis karena semua orang masih menatapnya terang-terangan.
“Jadi, nilai lo jeblok?” tanya Mario yang entah bagaimana sudah ada di sampingnya. Putra menatapnya malas.
“Emang ada alasan lain kenapa orang masuk kelas ini?” Putra balas menjawab dingin, tetapi reaksi mereka sangat mengejutkan. Anak-anak itu malah beramai-ramai membantai Mario, melemparinya dengan segala barang.
“Bego lo! Kalau nilai dia bagus dia masuk kelas Olimpiade! Nggak heran lo masuk sini!” sahut Ruby sambil mendorong kepala Mario yang sudah tertawa-tawa.
Putra menatap pemandangan itu heran. Putra bahkan bersumpah melihat Ramli tersenyum simpul dan bukannya berusaha melerai.
“Eh, Pangeran, jangan heran, ya, lihat kita-kita,” kata Cleo, nyengir melihat ekspresi Putra.
“Jangan panggil gue Pang … hei,” tegur Putra, kesal karena Cleo tak menghiraukan kata-katanya dan malah sibuk mencoreti wajah Mario yang pasrah dengan spidol.