Saya nggak ngerti, Pak. Kemarin saya, kan, cuma jelek di Fisika, kenapa saya harus ikut ngulang semua mata pelajaran?”
Siang ini, Putra sedang berada di ruang guru untuk menghadap Latif. Latif sendiri hanya menatapnya penuh arti.
“Nilai-nilai kamu di beberapa mata pelajaran lain juga tidak mengagumkan,” jawab Latif dengan senyum samar di wajahnya. “Kalau saya boleh jujur, nilai-nilai kamu di bawah standar. Boleh saya tahu, kamu mau masuk jurusan mana di kelas XI nanti?”
Putra menatap Latif ragu. Dia belum memutuskan mau masuk jurusan mana di kelas XI nanti.
“Saya belum tahu, Pak,” jawab Putra jujur, membuat Latif mengernyit.
“Kenaikan kelas cuma tinggal dua bulan lagi, lho,” kata Latif. “Kamu harus cepat-cepat memutuskan karena kalau tidak, akan terlambat dalam memperbaiki nilaimu. Kalau saya lihat dari hasil belajarmu, nilai-nilaimu kurang mencukupi untuk masuk jurusan mana pun.”
Putra menatap Latif lagi, yang sekarang sedang mencermati buku nilai milik beberapa guru yang mengajar Putra.
“Kamu tidak bisa masuk jurusan IPA karena Fisika dan Matematika-mu lemah. Kamu juga tidak bisa masuk IPS karena Ekonomi dan Akuntansi-mu juga lemah. Dan, kamu juga tidak bisa masuk Bahasa karena ternyata Bahasa Indonesia-mu juga lemah.” Latif mengempaskan buku-buku nilai tersebut ke meja dan menatap Putra serius. “Saya jadi curiga, apa kamu ada niat untuk putus sekolah?”
Putra tak menjawab. Sebenarnya, dia juga tak menyangka nilai-nilainya separah itu. Latif menghela napas.
“Saya mau menolong kamu,” katanya lagi. “Makanya kamu saya masukkan kelas After School supaya kamu bisa memperbaiki nilai-nilai kamu. Kalau itu terlalu sulit, kamu bisa memulai dengan menentukan jurusan apa yang mau kamu masuki dan konsentrasi pada pelajaran-pelajaran yang diperlukan. Itu lebih efektif.”
“Saya tidak menganggap kelas itu berguna, Pak,” seloroh Putra setelah kemarin dikerjai habis-habisan.
“Tentu saja berguna.” Latif tersenyum, mengerti perasaan muridnya itu. “Saya tahu persis kalau kamu kesal karena kelakukan mereka yang, yah, ajaib. Tapi, mereka bukannya tidak punya kelebihan.”
“Kelebihan apa?” tanya Putra, tak percaya anak-anak seperti itu bisa memiliki kelebihan.
“Kamu akan tahu kalau saja kamu mau lebih terbuka pada mereka,” jawab Latif. “Sekarang, yang harus kamu tahu, kelas itu akan sangat berguna untuk kamu. Setidaknya kamu bisa belajar karena pastinya kamu tidak akan belajar selama kamu berada di rumah.”
Putra menghela napas. Sepertinya pembicaraannya dengan Latif tidak memiliki poin. Tujuan utama Putra ke ruang guru adalah membebaskan dirinya dari kelas After School, tetapi tampaknya hasilnya sama dengan nol.
Putra melangkahkan kaki malas ke dalam ruang kelas After School. Seperti biasa, kelas itu sangat ramai walaupun hanya ada sekitar dua belas orang di dalamnya. Semuanya tampak mengitari sebuah meja, entah apa yang sedang mereka lakukan. Tak mau tahu, Putra melepas ransel dan duduk di bangku kebesarannya—yang omong-omong sudah diganti dengan kain hitam. Ditambah bola kristal di atas meja, pasti Putra akan dianggap penerus Ki Joko Bodho atau siapa.
“Huahaha! Dua hotel! Bayar, Mar!” sahut Cleo heboh, sementara semua orang menertawakan Mario yang wajahnya berubah masam. Mario lantas mengeluarkan uang kertas warna-warni dari saku celananya, tampak tak rela.
Putra sudah hampir terbiasa dengan semua kelakuan aneh anak-anak ini, jadi dia hanya menghela napas saat mengetahui kalau mereka sedang bermain monopoli.
“HA! Parkir bebas!” seru Cleo lagi, sementara Mario, Ruby, dan Panca terduduk lemas. Cleo menjalankan bidaknya kelewat bersemangat, tawanya membahana. “Ya, ampun, semua udah gue beli, enaknya menclok di mana, ya? Apa di tanah lo aja, ya, Mar? Kasihan gue!”
Anak-anak tertawa lagi melihat wajah Mario yang sekarang sudah sangat keruh. Tahu-tahu, dia berakting seolah kehilangan keseimbangan, lalu menabrak meja tempat monopoli itu dimainkan.
“Ups!” serunya dengan wajah tanpa dosa, sementara Cleo bengong melihat kerajaan yang dibangunnya berserakan di lantai.
“HAAA!” sahut Cleo frustrasi, sementara Mario mundur selangkah demi selangkah. Cleo meliriknya ganas, lalu menyerangnya dengan membabi buta. “AWAS AJA LO!”
Anak-anak sibuk menyemangati mereka yang berkejaran di kelas. Putra menghela napas, masih tak tahu kelebihan macam apa yang dimaksudkan Latif. Kelebihan energi, mungkin.
Setelah sepuluh menit berkejaran, Cleo dan Mario sekarang sudah duduk terengah di bangku masing-masing. Putra melirik jam tangannya, sudah lima belas menit berlalu dari waktu dimulainya kelas ini, tetapi Ramli belum juga datang. Putra menarik ransel, bersiap untuk pulang. Daripada jadi gila karena kelamaan berada di kelas ini, mending bermain game saja di rumah.
“Eh, Pangeran.” Zia tiba-tiba muncul di sebelahnya. Putra menatapnya. “Mau ikut karaokean nggak?”
“Hah?” seru Putra, tak yakin dengan pendengarannya.
“Iya, kan, kayaknya hari ini nggak ada kelas, biasanya kalau gitu kita-kita pada nongkrong di karaoke,” kata Zia lagi dengan wajah berseri, entah karena seri betulan atau efek blush-on. “Mau, ya?”
“Iya, Pangeran, mau aja,” timbrung Ruby dari sebelah Zia. “Seru banget, lho, tempat karaokeannya udah langganan, jadi bayarnya cuma setengah.”
“Sori, gue nggak bisa,” tolak Putra sambil bangkit.
“Mau ke mana, sih? Masa baru hari gini udah pulang? Disuruh Mama pulang cepet, ya? Nggak boleh keluyuran?” seru Cleo, membuat Putra meliriknya sebal. Harga dirinya sedikit terusik dengan kata-kata cewek itu.
Cleo menyeringai licik, tahu betul strateginya berhasil. “Oke kalau gitu, ayo berangkat!” sahutnya lagi, disambut gembira anak-anak lain.
Putra menatap cewek berambut pendek bernama Cleo itu sengit. Baru kali ini dia menemukan cewek seajaib Cleo.
Baru ketika Putra sedang memikirkan cara untuk kabur, cewek itu menarik tangan Putra secara paksa menuju mobilnya.
Putra melongo begitu melihat tempat karaoke yang dipesan anak-anak. Bukan masalah tempatnya yang membuat Putra bingung, tetapi ruangan yang semula hanya muat untuk delapan orang ini sekarang sudah disesaki dua belas orang sekaligus. Putra pun hanya pasrah saat Cleo melemparnya ke sofa, bersempit-sempitan dengan yang lain.
“Oke, ayo pada request!” seru Cleo sambil mengoperasikan komputer. Putra sampai kagum melihat kelihaian Cleo dalam memilih-milih lagu, seolah seumur hidupnya hanya didedikasikan pada mesin pencari lagu itu.
Anak-anak dengan cepat meminta beberapa lagu, kebanyakan yang tidak dikenal Putra. Putra hanya menyukai beberapa jenis lagu, kebanyakan lagu-lagu Jepang yang menjadi soundtrack game atau anime favoritnya. Walaupun demikian, Putra pernah mendengar beberapa lagu Indonesia yang sering diputar Yuda dari pos satpam.
“Yak, mulai lagu pertama, anthem After School Club!” sahut Cleo bersemangat, lalu segera maju dan mengambil mik diikuti oleh Mario dan Ruby. Semuanya tampak bersemangat, membuat Putra merinding. Walaupun demikian, Putra juga ingin tahu seperti apa anthem After School Club.