“Selamat Siang, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Kakak-Kakak, Adik-Adik….”
Dua orang pengamen merangsek naik ke dalam bus. Yang satu membawa gitar dan satunya lagi membawa kendang. Beberapa penumpang tampak menggerutu. Bagaimana tidak? Metromini sudah terasa sumpek. Para penumpang banyak yang berdiri–bahkan sepertinya lebih banyak yang berdiri ketimbang duduk.
Beberapa penumpang yang berdiri di bagian depan bus, akhirnya tetap menggeser posisi untuk memberikan tempat pada kedua pengamen itu. Tentu saja dengan gerundelan dan muka masam. Sudah panas, berdempetan, bergerak saja susah, ini pakai ada yang memaksa masuk, untuk konser dadakan pula.
“Ijinkan kami untuk sedikit sumbang suara, demi sesuap nasi.” Pengamen yang membawa gitar berujar. Ia membetulkan posisi gitarnya hingga seperti menggendong bayi. Tangan kiri sudah siap di gagang gitar, sementara tangan kanannya mengambil pick yang sedari tadi diselipkan di antara senar.
“Mungkin suara kami sumbang. Tapi lebih baik kami mengamen daripada mencuri apalagi korupsi,” sambungnya sambil menggenjrang gitar dari atas ke bawah.
“Jaman sekarang cari kerja susah. Jadi, kerja apapun akan kami lakukan asalkan halal.”
Jreng….
“Memang kami ini hanya pengamen jalanan. Tapi kami lebih terhormat daripada para pejabat berdasi yang merampok uang rakyat.” Ia kembali menggenjrang. Sementara rekan yang satunya lagi hanya diam dan tampak berkonsentrasi, bersiap-siap untuk memukul kendangnya.
“Yang satu ini, ‘Perahu Retak’ dari Franky Sahilatua.” Akhirnya, pengamen itu mulai memainkan betulan gitarnya. Genjrangannya lebih berirama. Diiringi tabuhan kendang, irama naik-turun seperti musik dangdut pun mengalun. Menemani goyangan tubuh para penumpang ketika bus menyalip ataupun menghindari jalan rusak.
"Perahu negeriku, perahu bangsaku, menyusuri gelombang….” Pengamen yang memegang gitar mulai bernyanyi. Lumayan juga, sih, suaranya. Setidaknya mirip Franky Sahilatua, penyanyi asli lagu tersebut.
“Kiri! Kiri!” Kernet metromini berteriak sambil mengetuk tiang bus dengan uang koin.
Bus berwarna oranye itu pun bergerak ke kiri. Gerakannya agak mendadak sehingga beberapa penumpang yang berdiri spontan mencari penumpu. Seorang penumpang perempuan tampak oleng dan nyaris jatuh. Untungnya, penumpang lain yang berdiri di dekatnya langsung sigap menahan.
“Duduk di sini saja, Bu.” Seorang remaja siswi SMU–terlihat dari pakaiannya yang masih mengenakan seragam sekolah–langsung berdiri.
“Terima kasih, Dik,” jawab wanita itu. Keduanya pun bertukar posisi.
“TARIK!” Tiba-tiba kernet kembali berseru.
Kali ini, giliran siswi SMU itu yang tersentak dan nyaris jatuh. Untung tangannya dengan sigap meraih pegangan pada gagang yang ada di atasnya.
“... di sawah kampungku, di jalan kotaku, terbit kesejahteraan….”
Penumpang kembali menggeser posisi ketika kernet memaksa menyelip. Rupanya ia menghampiri penumpang yang barusan naik untuk menagih ongkos.
“Kurang ini!” Kernet protes.