“Lying in….” Vian tiba-tiba menghentikan nyanyiannya.
Latihan band memang belum dimulai, sih. Para personelnya juga masih sibuk mencoba-coba alat. Meski begitu, tetap saja tingkah gadis berkulit kuning langsat dengan rambut sebahu itu menarik perhatian yang lain.
“Kenapa, Vi?” tanya Danisa yang juga tengah sibuk mencoba peralatan drumnya. Suara bising gebukan drum pun memenuhi ruang studio.
“Suara gue … kayaknya ketinggian. Bisa diturunin, nggak?” Vian masih memegang mikrofon dengan satu tangan, sementara tangan satunya lagi menyibak rambut yang jatuh ke wajahnya. Tampak sejumput rambut berwarna lain, pirang menyala di antara rambut hitamnya. Vian memang sedikit nyentrik dan ekspresif dalam berpenampilan. Termasuk mengecat rambut sebagian. Tentu saja warna catnya tidak terlihat karena selama di sekolah ia selalu menyembunyikannya di balik bandana.
Rida yang tengah sibuk menyamakan seteman senar bas pun memelotot.
“Dari kemarin-kemarin kita latihan di kunci ‘D’. Kenapa baru sekarang lo bilang ketinggian?” Nada suara Rida menyiratkan protes.
“Kayaknya ketinggian.” Vian tampaknya mencoba meralat. “Pengen coba kayak apa kalo main di ‘C’.”
“Suara lo bukannya emang tinggi, ya?” Danisa masih sibuk mencoba setelan drumnya.
Dum … cesss … dum … dum … cesss….
Danisa berhenti ketika stik drumnya memukul simbal.
“Gue, sih, ayo aja,” ujar Danisa cuek.
Rida menggerutu. “Tanya gitarisnya, tuh.” Rida menunjuk Audy dengan dagunya.