The Lemongrass masih melanjutkan latihan di studio musik yang sewanya dibayar patungan, dibagi rata untuk empat orang. Suara vokal berpadu dengan hentakan drum dan petikan senar pada bas dan gitar.
“Be with you … be with you … oh, I can’t be with you.”
Suara Vian terdengar melengking. Keempat remaja itu tampak terhanyut dengan lagu. Namun, tiba-tiba….
“Eh … stop … stop.” Tiba-tiba Vian menghentikan nyanyinya.
Danisa memelankan ritmenya. Suara musik menjadi berantakan.
“Kenapa lagi?” Rida menghentikan permainan basnya.
“Kayaknya mending balik ke ‘D’ lagi aja, deh.” Vian nyengir.
“Ha?” Rida melongo.
“Main di ‘C’ terlalu rendah.” Vian kembali nyengir.
Rida pun mendengkus. Pasalnya, ia sudah putar otak sedemikian rupa demi menyesuaikan permainan bas yang turun satu nada.
“Hehehe … sori … sori….” Vian malah tertawa.
“Besok mending kita cari capo aja, deh, Dy.” Rida melirik Audy.
Audy hanya tertawa kecil.
“Ya udah.” Danisa mencoba menengahi. “Jadi kita coba main di ‘D’ aja, ya?”
“Atau….” Vian tampak berpikir. “mau coba main di ‘C#’ dulu?”
Rida kembali menghela napas. “Gue beli capo deh.”
Audy lagi-lagi hanya tertawa.
“Eh, serius dong. Dari tadi kita main nggak selesai-selesai. Berhenti di tengah terus.” Danisa mengingatkan.
“Habis vokalisnya nggak jelas. Dikira gampang ganti-ganti nada dasar?” Rida sepertinya mulai kesal.
“Iya … iya. Kali ini beneran kita main dari ‘D’.” Vian akhirnya mengalah.
“Kalo ada perubahan lagi, lo kasih tahunya pas di sekolah, dong. Biar kita juga siap-siap.” Rida kembali berkata.
“Ah, bawel lo! Itu Audy aja nggak protes, kok.” Vian melirik Audy.
Yang dilirik hanya tersenyum. Sebenarnya Audy juga kerepotan kalau terus-terusan berganti nada dasar. Namun, bagi Audy, lebih baik pusing memikirkan nada dasar daripada pelajaran sekolah.
“Iya, ngerti. Noel Gallagher, mah, beda.” Rida melirik Audy sambil terkikik. Audy masih setia dengan rambut potongan indie. Sebenarnya, sih, lebih mirip Liam Gallagher–karena agak panjang, atau lebih tepatnya gondrong. Hanya saja, di Oasis yang menjadi gitaris adalah Noel, bukan Liam.
“Ya udah … ya udah … kita mulai lagi, yuk.” Danisa mengangkat kedua tangannya yang memegang stik drum dan mengetukkan keduanya. “Tu … wa … ga….”
“Permisi. Waktunya habis.” Tiba-tiba pintu studio terbuka. Seorang laki-laki muda tampak menyembul dari balik pintu.
Keempat sekawan itu pun menoleh ke arah pintu.
“Satu lagu lagi, Mas.” Vian mencoba menawar.
“Ini juga udah kelebihan lima menit.” Pemuda itu menunjuk jam tangannya.
“Ayolah, Mas. Tanggung, nih.” Danisa ikut melobi. “Ntar kita tambahin uangnya, deh.”
“Haduh, Mbak. Kalo mau lebih, kenapa nggak booking aja yang dua jam di lantai atas?” Pemuda penjaga studio itu bersikeras. “Lagian ini juga udah ada yang mau pakai lagi.”
Vian melirik ketiga temannya.