Audy menatap buku di depannya tanpa berkedip. Entah sudah berapa lama ia menatapnya. Namun, sepertinya tak satu pun dari materi-materi tersebut yang menancap di kepalanya.
sin(𝛼+𝛽) = sin𝛼cos𝛽 + cos𝛼sin𝛽
Audy tampak menopang dagu dengan tangan kiri sementara tangan kanannya sibuk memutar-mutar pulpen. Matanya kemudian turun melihat rumus di bawahya lagi.
sin(𝛼-𝛽) = sin𝛼cos𝛽 - cos𝛼sin𝛽
cos(𝛼+𝛽) = cos𝛼cos𝛽 - sin𝛼sin𝛽
cos(𝛼-𝛽) = cos𝛼cos𝛽 + sin𝛼sin𝛽
Kenapa sinus dan cosinus rumusnya seperti terbolak-balik begitu? Dan sebenarnya, rumus itu untuk menghitung apa, sih?
Audy menggaruk kepala, lalu membalik halaman selanjutnya. Deretan rumus lainnya terpampang di buku cetak, sementara buku tulisnya masih kosong-melompong. Belum satu pun soal pada PR matematika di hadapannya yang berhasil ia kerjakan.
Tatapan Audy memang tertuju pada buku. Namun, pikirannya mulai mengembara entah ke mana. Trigonometri memang materi yang paling sulit ia pahami. Sama sekali tidak bisa terbayang di kepalanya, seperti apa “makhluk” yang bernama sinus, cosinus, tangen, dan cotangen itu.
“Take me where the sun is shining, where the air’s up in the sky, and I will fly….”
Audy mengambil walkman yang sedari tadi menemaninya belajar. Ia membesarkan volume suara ketika radio tiba-tiba memutar sebuah lagu yang sudah agak lama. Maksudnya, agak lama karena sepertinya sudah rilis beberapa bulan yang lalu. “Take Me Where The Sun is Shining” milik Coleske mungkin tidak terlalu populer. Namun, telinga Audy tampaknya terlalu peka menangkap nada-nada yang catchy, apalagi kalau liriknya dalam.
Audy mengambil selembar kertas yang terlipat rapi, kemudian menyender ke sandaran kursi dan membaca isinya. Tepatnya, melihat. Karena memang tidak ada yang menarik dari isi kertas tersebut. Kecuali angka di pojok kanan atasnya. Itu pun bukan angka yang menyenangkan untuk dilihat. Yah, sejelek-jeleknya nilai, masa harus 4,5 sih?
“Kamu harus mengambil jurusan IPA, lalu kuliah di ITB, dan jadi sarjana teknik. Biar bisa dapat pekerjaan bagus yang gajinya besar. Kalaupun kamu tidak bisa ke ITB, minimal fakultas teknik di UI. Tapi Ibu tetap berharap kamu nanti kuliah di ITB. Kan Ayah dan Ibu juga lulusan ITB. Jadi, kamu juga, dong.”
Kata-kata Ibu kembali terngiang. Audy bukannya tidak ingin menuruti kata-kata Ibu. Bahkan, kuliah di ITB sebenarnya sudah lama menjadi cita-cita Audy sejak ia kesengsem dengan arsitektur bangunannya ketika suatu hari ia berwisata ke Bandung. Meski Audy juga belum tahu jurusan apa yang diminatinya.
Dulu pernah ia terpikir untuk mengambil jurusan teknik fisika. Namun, kemudian ia malah bimbang antara teknik fisika atau teknik sipil yang katanya lebih menjanjikan untuk lapangan kerjanya. Sementara di waktu yang lain, ia merasa kalau arsitek adalah profesi yang keren. Hanya saja, itu semua sebelum nilai-nilainya mulai turun karena tekanan belajar yang tinggi. Dan ketika hasil tes bakat menyebutkan lebih cocok di IPS, Audy pun mulai meragukan kemampuannya sendiri. Kini, ia malah lebih suka bermusik ketimbang belajar.
“...to where my dreams are hiding somewhere in the sky … for just a while….”
Audy memejamkan matanya. Sama seperti kata Coleske, impiannya pun saat ini seolah tengah bersembunyi. Entah di mana. Meski hanya sementara, tetap saja Audy merasa bingung dengan dirinya sendiri. Dan semakin bingung ketika cita-citanya yang dulu seolah menjauh.
Mungkin benar kata Myla. Membolos pengayaan di mata pelajaran yang nilainya turun sama saja merusak diri sendiri. Akan tetapi, Audy memang sudah benar-benar jenuh dengan itu semua.