Audy menelusuri rak demi rak di sebuah toko kaset dekat sekolahnya. Toko kaset di daerah Blok M ini memang boleh dibilang “rujukan”. Pendeknya, mau cari kaset apapun, pergilah ke sini. Koleksinya banyak. Kaset lama, ada. Rilis terbaru, apalagi. Bukan hanya album tunggal artis. Album kompilasi macam seri “Megahits” adalah yang juga paling ditunggu dan poster sampul kasetnya selalu dipajang secara periodik di halaman toko.
Audy sering ke sini. Makanya, mencari kaset incarannya bukan hal sulit. Ia bahkan sudah hafal letak penataan kaset-kasetnya.
No Doubt. Audy memegang kaset album sebuah band luar negeri. Berwarna dominan biru disertai foto para anggota band dan tulisan judul albumnya, “Tragic Kingdom”. Bukan artis favorit Audy. Namun, Audy membutuhkan kaset itu. Setidaknya, ada satu lagu yang harus segera ia pelajari secepatnya, tertulis di bagian belakang yang berisi daftar lagu: “Just A Girl”.
Audy membolak-balik kaset tersebut. Wajahnya tampak bimbang, lalu menghela napas. Kenapa mendadak begini, sih? Audy menggerutu dalam hati.
Audy kembali membalik kaset tersebut ke halaman muka. Tampak sebuah label kecil tersemat bertuliskan “15.000”. Padahal uang jajan Audy saja hanya 30.000 rupiah per minggu. Langsung habis separuh, dong? Ngomong-ngomong, harga kaset, kok, naik terus, ya? Rasanya dulu, ketika Audy duduk di bangku SMP, harga kaset masih 6000 rupiah. Lalu naik menjadi 8000 rupiah. Kemudian 10.000 rupiah, terus naik menjadi 12.000 rupiah, dan tahu-tahu sekarang sudah 15.000 rupiah? Berarti dari tahun 1993 ke 1997 naik sebesar 9000 rupiah? Tinggi amat?
Audy kembali menaruh kaset itu ke raknya, kemudian beranjak. Tujuannya hanya satu, yaitu alat pemutar musik yang bisa digunakan untuk mendengarkan sampel lagu secara gratis. Audy sebenarnya sudah pernah mendengarkan “Just A Girl”. Lumayan sering diputar di MTV. Namun, ia ingin memastikannya lagi.
Ah, gara-gara waktu itu, sih. Sekarang ia harus berlatih dari awal lagi, deh.
…
“Ha? Gimana, Vi?” Rida melongo.
Hari itu, para personel The Lemongrass mengadakan pertemuan mendadak di ruang serbaguna. Vian yang meminta. Setelah dipanggil oleh siswa kelas tiga yang waktu itu tentunya.
“Iya.” Vian mengulanginya. “Kita diminta ganti lagu.”
“Sama anak kelas tiga?” Danisa memastikan.
Vian mengangkat bahu. “Siapa lagi?”
“Dan lo iyain aja?” Rida tampak kesal.
“Emangnya gue bisa nolak?” Vian tak kalah kesal.
“Terus, kita mau nyanyi lagu apa, dong?” Rida tampak bingung. “Jadi kita latihan selama berminggu-minggu kemarin itu nggak ada gunanya?”
Audy tampak diam sambil memperhatikan ketiga temannya.
“Apa perlu gue ngomong ke panitianya? Gue kenal anak-anak OSIS, kok,” tawar Danisa.
“Jangan.” Vian buru-buru mencegah. “Gue nggak mau jadi tambah ricuh sama anak kelas tiga.”
“Acara ulang tahun sekolah itu tanggal 3 Desember, lho. Itu tinggal sebulanan lagi. Nggak nyampe malah. Dan kita harus ganti lagu?” Danisa mengingatkan.
“Ya udah. Terus kita mau mainin lagu apa?” Akhirnya Audy angkat bicara juga.
“Cari lagu Cranberries lagi. Suaranya Vian, kan, mirip Dolores,” usul Rida.