After School

Nadya Wijanarko
Chapter #8

Re-Refresh

Sebenarnya SMU tempat Audy bersekolah itu menyenangkan. Memang, sih, yang namanya sekolah “unggulan” itu ketat di akademis. Namun, di luar itu banyak kelonggaran, kok. Ekskul adalah salah satunya. Lainnya? Upacara!

Eh? Nggak salah, nih?

Tidak, kok!

Seperti halnya sekolah-sekolah lain, sekolah Audy pun selalu menyelenggarakan upacara bendera setiap hari Senin. Hanya saja, upacaranya tidak terlalu saklek. Setidaknya dalam urusan seragam. Yang penting bawa topi dan pakai bawahan putih. Tidak ada dasi, bahkan tidak ada kewajiban mengenakan sepatu hitam. Makanya Audy santai saja mengenakan sepatu Converse All Star-nya yang berwarna biru. Sepatu Vian bahkan lebih ngejreng karena warnanya kuning!

Namun, jangan salah juga! Karena upacara di sini dilaksanakan dengan amat sangat serius. Petugas upacaranya saja sudah seperti Pasukan Pengibar Bendera Pusaka di Istana Merdeka. Paduan suaranya bikin “merinding” karena selalu all out ketika menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, juga lagu-lagu wajib lainnya. Salah satu yang sering dinyanyikan adalah “Rayuan Pulau Kelapa” yang nadanya adalah harmonisasi dari empat suara, mulai dari bas, bariton, alto, dan sopran.

Seru, kan?

“Masa kamu mau pindah sekolah, Dy?” Bu Lisa, guru bimbingan konseling, pagi itu memanggil Audy untuk bertemu di ruangannya setelah upacara bendera.

Audy diam saja.

“Sekolah kita ini, kan, sekolah unggulan. Makanya, syarat untuk masuk IPA-nya lebih berat. Nilainya lebih tinggi. Tapi, kalian difasilitasi juga dengan pengayaan. Supaya bisa mengejar syarat nilai minimal,” jelas Bu Lisa.

“Kok aneh, sih?” Audy malah bertanya.

“Aneh kenapa?”

“Kenapa untuk masuk IPA pakai ada persyaratan nilainya segala?” Audy melanjutkan pertanyaannya.

“Ya … karena itu, kan, juga untuk mengukur kemampuan kalian. Kalau ternyata nilainya tidak cukup, berarti tidak cocok di jurusan IPA. Kalau tetap memaksakan diri, nanti malah repot, kan?”

“Terus, kalau masuk IPS nggak butuh syarat apa-apa, gitu?” Audy kembali bertanya.

“Memangnya ada yang nilai IPS-nya jelek?” Bu Lisa balik bertanya.

“Kalau ternyata ada, berarti dia masuk jurusan IPA?”

Bu Lisa tersenyum mendengar pertanyaan Audy. Ia tahu kalau Audy tidak benar-benar bertanya. Audy hanya mengetesnya. Dalam beberapa hal, harus diakui kalau Audy memang kritis.

“Kamu mau masuk IPS saja?” Bu Lisa kembali balik bertanya.

Kali ini Audy tidak menjawab. Ia hanya menunduk.

“Nggak masalah, kok, kalau kamu memang ingin mengambil IPS. Toh, hasil tes bakatmu tahun lalu juga menunjukkan kalau kamu cocoknya di IPS.”

“Itu karena waktu itu nilai IPA saya jelek, Bu,” kilah Audy.

“Dan sekarang, nilai kamu sudah membaik?”

Audy lagi-lagi terdiam.

“Audy, saya hanya ingin memastikan langkah kamu ke depan. Kalau kamu memang inginnya di IPS, ya sudah, tidak apa-apa. Meski, kamu harus tetap meraih nilai minimal untuk mata pelajaran IPA supaya naik kelas. Tapi, kalau kamu masih tetap berminat di jurusan IPA, tolong kamu tingkatkan nilai kamu.” Bu Lisa berkata panjang lebar.

Audy hanya menunduk tanpa menjawab.

“Dan….” Bu Lisa tampak mengambil sebuah map, kemudian membukanya. “tolong kamu jangan membolos pengayaan.”

Audy tersentak. Ia pun menatap Bu Lisa.

“Kamu pikir saya nggak tahu? Saya dapat laporan dari guru-guru yang mengajar pengayaan. Kamu sering tidak masuk.”

Lihat selengkapnya