After School

Nadya Wijanarko
Chapter #9

The English Course Center

Tampaknya Myla benar. Membolos pengayaan adalah ide buruk. Kenapa? Karena membolos itu ibarat candu. Sekali membolos, pasti ketagihan untuk mengulanginya. Awalnya hanya di satu mata pelajaran, lama-lama merembet ke lainnya. Tadinya hanya untuk menghindari mata pelajaran yang tidak disuka, besoknya tergoda untuk kabur dari mata pelajaran lain yang sebenarnya tidak ada masalah. Akhirnya, yah … ya sudah, sekalian saja semuanya!

Sebenarnya, itu tidak masalah. Sepanjang, tidak ada hal penting yang disampaikan pada jam pengayaan. Nah, itulah masalahnya!

Bukan … bukan fisika, atau matematika—pun pelajaran eksakta lainnya. Karena kali ini Audy “bermasalah” dengan pelajaran bahasa Inggris. Iya … tidak akan ada masalah kalau seandainya Audy mengikuti pengayaan, karena ternyata jam pengayaan digunakan untuk latihan soal yang tidak diberikan di jam pelajaran biasa.

Audy benar-benar tidak menyangka sekolah menyelenggarakan tes IELTS1—semacam tes untuk bahasa Inggris. Parahnya, Audy sama sekali tidak ada bayangan tentang IELTS. Selama ini, jam pengayaan untuk mata pelajaran bahasa Inggris selalu diletakkan di jam kedua, tepatnya setelah mata pelajaran kimia—dan Audy terlalu sering (kalau tidak selalu) membolos jam pengayaan kimia. Sudah pasti Audy melewatkan bahasa Inggris!

Tadinya, Audy mengira kalau IELTS sama seperti TOEFL2 yang bentuk soalnya adalah pilihan ganda. Ternyata, IELTS lebih sulit karena jawaban berupa isian, bahkan esai. Kemampuan bahasa Inggris Audy sebenarnya tidak jelek. Nilai ulangannya berkisar antara delapan atau sembilan. Bahkan, nilai bahasa Inggris di rapornya selalu sembilan. Meski demikian, ia tetap saja tidak siap dengan model ujian ala IELTS. Hasilnya, nilai Audy jelek dan diminta mengulang. Kecuali jika ingin nilainya terjun di rapor caturwulan kedua nanti. Padahal nilai MIPA-nya saja sudah ambruk, masa bahasa Inggris-nya ikut ambyar? Tidak lucu!

Itulah sebabnya Audy “terdampar” di tempat les bahasa Inggris siang ini. Padahal, harusnya siang ini Audy latihan band bersama teman-temannya. Apalagi, hari ini tidak ada pengayaan.

Audy membolak-balik halaman buku tulis di depannya dengan gelisah. Itu adalah buku catatan Myla yang dipinjamnya. Myla memang rajin mencatat, termasuk kisi-kisi soal ujian IELTS. Toh, tetap saja Audy pusing! Duh, mentang-mentang sekolah unggulan, sampai-sampai penilaian bahasa Inggris pun dibuat ribet begini.

The English Course Center, alias ECC, lembaga bahasa Inggris yang terletak di Jalan Fatmawati ini memang sudah sering bekerja sama dengan sekolah. Salah satunya adalah ujian TOEFL tahun lalu. Waktu itu, ujian TOEFL memang diadakan di sini. Namun, untuk IELTS, entah kenapa ujian dilaksanakan di sekolah. Bisa saja, sih, mendatangkan lagi ECC untuk mengadakan ujian di sekolah. Hanya saja, yang nilainya di bawah standar hanya Audy. Tidak mungkin, kan, sekolah mengundang lagi ECC hanya untuk seorang siswa?

“Permisi. Kosong?”

Sebuah suara membuat Audy tersentak. Perhatiannya teralihkan dari buku catatan. Karena lagi-lagi … rasanya ia mengenal suara itu.

“Lo lagi.” Suara itu berubah sinis, meski masih tetap dengan logat orang asing yang canggung.

Si pemilik suara itu pun langsung duduk di kursi kosong yang ada di samping Audy tanpa meminta persetujuan lagi. Audy sebenarnya ingin pindah saja. Sayangnya, petugas ujian sudah masuk kelas.

Setelah memberikan penjelasan singkat, petugas itu membagikan soal ujian ke masing-masing peserta. Sama seperti sebelumnya, soal ujian berupa buku soal yang langsung ditulis nama dan jawabannya di sana.

Kelas pun hening. Masing-masing peserta tampak konsentrasi dengan soal masing-masing di depannya. Termasuk Audy. Meski yang ia lakukan lebih banyak membolak-balik buku soal. Ah … andai saja ia rajin mengikuti pengayaan, soal seperti ini mudah saja dikerjakan.

Pengawas ujian tampak seperti tidak serius mengawasi. Meski demikian, para peserta ujian yang hanya berjumlah belasan itu tidak ada yang berminat menyontek. Mungkin karena mereka tidak saling kenal juga, sih. Bagaimana pun, pasti rasanya sungkan meminta contekan dari orang yang tidak dikenal sama sekali.

“Eh….”

Sebuah suara memecah konsentrasi Audy. Ia pun menoleh. Tampak si remaja gondrong berwajah bule itu beberapa kali melirik seolah memberikan kode. Audy pun paham. Ia menurunkan pandangannya, dan tampaklah tangan cowok itu yang menggeser sedikit buku soalnya hingga mendekati Audy.

Audy melirik ke depan. Dan setelah memastikan pengawas tidak memperhatikan, ia pun dengan cepat menyalin jawaban-jawaban yang disodorkan pemuda gondrong itu. Pemuda itu membalik halaman buku soalnya, dan dengan cepat Audy kembali menyalin. Sekilas Audy meliriknya, lalu tersenyum.

Seperti biasa, Warung Ganesha selalu sepi. Meski kali ini Audy tidak sendiri, melainkan bersama si cowok gondrong berwajah bule yang ia belum tahu namanya.

Lihat selengkapnya