After School

Nadya Wijanarko
Chapter #11

Sunday Fun-day

Sekolah harusnya menjadi tempat untuk membaur. Apalagi sekolah negeri di mana para siswanya berasal dari aneka latar belakang. Meski masih membayar, jumlahnya tidak semahal sekolah swasta, bukan? Artinya, semua sama. 

Itu juga sebabnya sekolah mewajibkan seragam (mungkin). Bahkan, banyak sekolah yang mengatur hingga sepatu, seperti harus mengenakan sepatu hitam. Alasannya, supaya tidak terlihat lagi mana yang kaya dan miskin. Tentu saja ini di luar kreativitas para siswa yang tak jarang memodifikasi seragam hingga tampak modis. Sepatu hitam pun ada kalanya bermerek mahal, yang sudah pasti kelihatan bedanya dengan sepatu hitam murahan.

SMU tempat Audy belajar tidak terlalu ketat soal seragam. Setidaknya, Audy masih bebas mengenakan sepatu tinggi ala sepatu basket berbahan kanvas merek Converse All Star berwarna biru favoritnya. Vian juga masih setia dengan sepatu sport berwarna kuning menyala. Sementara sepatu Danisa berwarna merah muda lembut dengan model lebih kasual. Hanya sepatu Rida yang masih agak normal, yaitu sepatu kanvas berwarna hitam dengan model mirip sepatu Audy tetapi pendek, meski tetap sedikit menyisakan “kenyentrikan” berupa tali sepatu berwarna kuning. Ngomong-ngomong, Vian dan Rida memang penggemar warna kuning, sih. Adapun Myla memilih untuk tidak mencolok dalam urusan sepatu karena sepatunya berwarna hitam standar.

Tampaknya, orang memang sulit diseragamkan. Karena setiap orang pada dasarnya unik dan punya cara masing-masing dalam mengekspresikan dirinya. Hanya saja, ada satu lagi kecenderungan manusia, yaitu lebih suka berkelompok dengan orang-orang yang punya kesamaan. Tak terkecuali para siswa. Mungkin inilah paradoksnya. Di satu sisi, orang merasa ingin bebas mengekspresikan diri. Namun, di sisi lain, orang justru lebih suka bergabung dengan yang sejenis. Aneh, ya?

Sudah menjadi rahasia umum kalau para siswa pun terkotak-kotak. Yang paling mencolok, ada siswa-siswa tertentu yang dicap sebagai anak “gaul”. Yah … sebenarnya ada banyak sebutan, sih, untuk mereka. Namun, intinya cap tersebut mengacu pada siswa-siswa populer, terkenal, dan kadang seperti mengendalikan jalannya sekolah. Bukan karena mereka meng-coup d’état kepala sekolah, ya. Melainkan, karena mereka bisa–misalnya–mengada-adakan “tradisi” sendiri yang kemudian seolah yang lain harus mengikutinya.

Aqua-Party” adalah salah satu contoh. Maksudnya … sejak kapan harus ada satu perayaan “sweet seventeen” besar-besaran di tiap angkatan? Lagipula, selama ini sudah lumrah pesta “dari kafe ke kafe” di kalangan anak-anak populer. Apa masih harus menggelar satu party besar lagi?

“Acaranya katanya Februari, kan?” tanya Myla sambil menyeruput kuah mi ayamnya.

Audy mengangguk tanpa menjawab. Mulutnya sibuk mengunyah mi yang baru saja disumpitnya. Keduanya sedang makan siang di kantin sekolah.

“Terus….” Myla menyumpit mi. “Kalian mau latihan kapan?”

“Ya sebelum itulah.” Audy menjawab sekenanya.

“Akhir Desember udah puasa, loh. Februari, kita udah ulangan umum. Emangnya pada nggak belajar?”

“Kan, setelah pembagian rapor. Awal-awal cawu, sih, aman.” kilah Audy lagi.

Myla pun mendengkus kesal. “Masuk cawu tiga, kita udah digenjot untuk ulangan umum kenaikan kelas.”

“Bodo amatlah!” Audy meletakkan sumpitnya. Selera makannya menghilang.

Myla pun meletakkan sumpit dan berhenti makan. “Lo kenapa, sih?”

“Lo yang kenapa?” Audy balik bertanya.

“Loh, kenapa jadi gue?” Myla bingung.

“Emang apa salahnya, sih, kalo anak-anak bikin party?” tanya Audy. “Nggak ada yang maksa ikut. Lo mau ikut, silakan. Enggak, ya udah. Masing-masing ajalah.”

Myla menatap teman sebangkunya itu, kemudian menghela napas. “Lo suka baca koran, nggak? Dolar AS sekarang udah 5000-an.”

“Terus?”

“Harga-harga naik, kan?” Myla bertanya retoris.

“Iya. Terus?”

“Ya masa lo malah seneng-seneng gitu?” Myla kembali bertanya retoris.

Lihat selengkapnya