After School

Nadya Wijanarko
Chapter #12

We Just Wanna Have Fun

Keriuhan kafe sudah terasa sejak lepas magrib. Para remaja pengunjung “Aqua-Party” terus berdatangan. Penampilan mereka sudah seperti artis yang rajin wira-wiri di layar kaca. Gaun panjang, tanktop, polesan make up. Melihat para remaja itu, rasanya tak percaya kalau Indonesia tengah dihantam krisis moneter dahsyat yang menyebabkan harga-harga meroket. 

“Vian! Thanks banget lo mau dateng!” Fika langsung menghambur memeluk Vian.

Fika mengenakan terusan berwarna hitam dengan bagian atasnya berupa lengan terbuka bertali tipis seperti tanktop. Ada pun Vian mengenakan padu padan berupa tanktop warna kuning sebagai atasan, dan bawahan celana jin hitam. Tentu saja tak ketinggalan sneakers kuning kesayangannya. Agak kontras dengan ketiga teman band-nya yang berpakaian lebih kasual.

Sebuah mobil datang dan langsung menuju ruang parkir yang ada di depan kafe. Tak lama, penumpangnya pun keluar. Rupanya Surya. Ia tampak stylish dengan kemeja lengan panjang berwarna krem yang bawahnya dikeluarkan. Rambutnya yang dipotong cepak mirip Keanu Reeves di Speed semakin menambah pesonanya. Apalagi dipadu dengan tubuh tingginya–sekitar 170 sentimeter. Dengan statusnya sebagai anak band, layaklah menjadi idola.

Ternyata Surya tidak datang sendirian. Ia bersama Rani, siswi kelas II-1 yang menyambi sebagai model. Yah, setidaknya wajahnya sering muncul di sampul majalah remaja. Beberapa kali memenangkan kontes gadis sampul juga. Entah kenapa cewek-cewek populer di sekolah kebanyakan seolah berkumpul di kelas II-1. Fika, Dayu, dan Rena pun dari kelas II-1.

Rani mungkin gambaran ideal untuk sosok remaja SMU seperti di film-film. Cantik, modis, populer. Tinggi semampai dengan rambut hitam tergerai. Konon bahkan ia tengah ditawari kontrak untuk iklan sampo. Tinggal tunggu waktu saja untuk melihat wajahnya beredar luas melalui layar televisi.

Dengar-dengar gosip, Rani adalah anak pejabat–entah pejabat di mana. Lahirnya di luar negeri–entah di mana, pokoknya di luar negeri. Sejak kecil, ia sudah berada di lingkungan elit. Sekolahnya, mulai dari TK, selalu di tempat yang kurikulumnya meng-”internasional”. Makanya tak heran jika ia begitu lancar cas-cis-cus berbahasa Inggris. Berhasil diterima di SMU favorit hanya melengkapi kesempurnaan hidupnya. Malah, mungkin justru sekolah yang gengsinya naik karena ada siswanya yang anak pejabat.

Surya menggandeng Rani dan kemudian berjalan menuju pintu masuk kafe. Benar-benar pasangan serasi: “raja” dan “ratu” sekolah.

“Hai, Ran. Thanks, ya, udah dateng.” Fika menyambut Rani dan ber-cipika-cipiki

Surya hanya tersenyum melihat Rani dan Fika. Sekilas, mata Surya menatap Vian. Vian yang menangkap sorot mata Surya berusaha bersikap cuek. Audy, Rida, dan Danisa juga sempat memperhatikan Surya. Setelah Surya masuk bersama Rani, baru kemudian para personel The Lemongrass masuk juga.

Suasana pesta berlangsung meriah. Dibuka dengan menyanyikan lagu “Happy Birthday”, diikuti dengan meniup lilin yang diletakkan di atas kue secara simbolis bersama-sama, party yang sebenarnya pun dimulai.

Para undangan bersemangat mengikuti permainan yang dipandu oleh host. Diiringi dentuman musik, tawa dan celetukan para tamu riuh berpadu. Meski demikian, para personel The Lemongrass memilih untuk agak menyingkir. Alih-alih mengikuti aneka games, mereka memilih untuk mengkonsolidasikan rencana penampilan.

“Kita nanti main tiga lagu, ya? ‘Just A Girl’ sama ‘Sunday Morning’-nya No Doubt, terus ‘Come On Eileen’-nya Save Ferris.” Rida yang sudah seperti leader band memberikan briefing kepada teman-temannya.

“Tapi apa waktunya cukup?” tanya Vian. “Bukannya kesepakatannya kita cuma main dua lagu, ya?”

“Iya, seingat gue, dari panitia juga bilangnya tiap band dua lagu aja,” cetus Danisa.

“Ya udah. Kita berarti nanti cuma mainin ‘Just A Girl’ sama ‘Sunday Morning’ aja,” ralat Rida.

“Setuju. Kan image band kita sekarang jadi No Doubt. Cranberries biar band-nya Olla aja,” ujar Vian.

Teriakan kembali riuh terdengar. Tampaknya sesi pertama game sudah selesai. Host pun kembali mengambil alih acara.

“Untuk game selanjutnya, ada sedikit titipan dari sponsor, nih….” Host memberi tahu.

Harus diakui kalau kegiatan seperti ini sebenarnya juga merupakan latihan berorganisasi. Kalau acara yang digarap siswa SMU mampu menggaet sponsor, itu hebat, kan? Pantas saja acaranya bisa mewah begini. Ternyata ada sponsornya.

“Ini juga dalam rangka meningkatkan awareness dalam pergaulan. Bahwa dalam pergaulan, kita juga harus menjaga diri agar terhindar dari berbagai hal yang tidak diinginkan.” Host itu kemudian mengambil sebuah benda dari dalam saku bajunya. “Ada yang tahu benda apa ini?” 

Seisi ruangan pun kembali riuh. Beberapa malah tertawa. Sedangkan Audy, Rida, Vian, dan Danisa yang berdiri agak di belakang hanya bisa memincingkan mata karena tidak terlalu jelas melihat benda tersebut.

“Permainan selanjutnya adalah … MENIUP BALON!”

Seisi ruangan kembali berteriak. Kali ini, suara tawa lebih dominan.

“Yang mau ikut, ayo maju ke depan! Hadiahnya nggak kalah oke, lho.”

Beberapa orang pun maju. Yang tidak ikut maju hanya menonton sambil bersorak-sorai. Lomba yang satu ini benar-benar berjalan sangat meriah.

Audy hanya bisa melongo melihat lomba yang tengah digelar di atas panggung.

“Njiiiiirrrr….” Danisa malah terbahak-bahak.

“Ada balon kayak gitu, ya?” Vian juga terbahak-bahak.

Para undangan pesta tampak begitu bersemangat. Suasana begitu heboh. Para peserta meniup “balon” diiringi hentakan house music. Seru sekali, sampai-sampai lupa acara selanjutnya.

“Udah, ya … udah….” Host akhirnya menyudahi perlombaan. “Ini memang cuma permainan. Tapi … tolong jangan lupa juga, ya … gunakanlah untuk keamanan dan keselamatan diri kalian….”

Terdengar suara tepuk tangan membahana.

“Benda ini, bisa membantu untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, juga penyakit-penyakit menular, yang salah satunya adalah HIV/AIDS. Temen-temen pasti udah pernah denger soal HIV/AIDS, kan?”

Tepuk tangan kembali terdengar.

Be responsible, ya.”

Lihat selengkapnya