Bu Tini berjalan masuk kelas dengan agak cepat dan langsung menuju meja guru.
“Saya benar-benar kecewa!”
Para siswa yang baru saja mengeluarkan buku-bukunya jelas terkejut ketika Bu Tini tahu-tahu sudah melontarkan semburan.
“Sungguh, saya benar-benar kecewa.” Bu Tini meletakkan tas dan bukunya di atas meja. “Apa yang kalian lakukan benar-benar sudah kelewatan!”
Sebagian siswa tampak menunduk meski mereka belum paham juga dengan maksud Bu Tini.
“Apa maksud kalian menyelenggarakan pesta … apa itu? ‘Aqua Party’? Yang kalian joget-joget nggak keruan?” Bu Tini berdiri dan memandang ke seluruh kelas. Kali ini lebih banyak lagi siswa yang menunduk.
“Apa yang kalian lakukan itu tidak mencerminkan budaya bangsa!” Suara Bu Tini meninggi. “Tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila!”
Lalu apa itu “budaya bangsa”? Korupsi, kolusi, dan nepotisme? Mendapatkan proyek karena kongkalikong?
Myla yang tengah menunduk pun terkejut ketika secarik kertas tiba-tiba parkir di depannya. Ia pun menoleh. Tampak Audy yang setengah menunduk, setengah melihat ke depan. Namun dengan raut wajah penuh kekesalan. Myla pun mengambil bolpoin dan menuliskan balasan.
Udahlah, Dy! Nggak usah dibahas sekarang!
Kertas pun digeser.
“Luar biasa sekali kalian! Sampai ada acara tiup kondom segala!” Bu Tini benar-benar meradang. Sementara, terdengar suara seperti napas tertahan dari para siswa. Memang, tidak semua siswa tahu tentang apa yang terjadi di pesta. Tentu saja mereka terkejut mendengar kata-kata Bu Tini.
Memang apa hubungannya antara lomba tiup kondom dengan budaya bangsa dan nilai-nilai Pancasila? Apakah itu membuat kita jadi bejat? Apakah terus kita jadi kepikiran untuk melakukan yang tidak-tidak? Itu cuma tudingan yang tidak berdasar. Padahal, sebaliknya, justru dengan kita diperkenalkan dengan kondom, kita jadi paham cara melindungi diri.
Audy kembali menulis dan kertas pun digeser. Dan Myla kembali memelotot membaca tulisan Audy. Ia menatapnya sekilas. Tampak Audy seperti cuek meski ia tahu jika wajahnya menyiratkan kekesalan. Toh, Myla mengambil kertas itu dan menuliskan jawabannya.
Memangnya lo mau melakukan “itu”? Gila lo! Kondom itu cuma untuk melindungi dari kehamilan dan penyakit. Tapi tidak untuk melindungi diri dari DOSA!
Myla menulis besar-besar kata “DOSA” dan membubuhinya dengan garis bawah, kemudian menggesernya lagi ke depan Audy.
“Nggak usah kaget. Kalian pikir, kami para guru di sini tidak tahu apa yang kalian lakukan?”
Dan gue juga tahu banget kayak apa kelakuan generasi tua sekarang di masa mudanya. Free sex? Hamil di luar nikah? Gue bisa tunjuk generasi tua seangkatan orang tua gue yang kayak gitu! Munafiklah!
Bukan … bukan. Audy tidak sedang meracau. Ia hanya mengungkapkan kekesalannya. Ia tahu persis beberapa rekan orang tuanya, bahkan kerabatnya sendiri, ada yang perilakunya sama tidak keruannya, bahkan lebih tidak keruan dibanding generasi muda zaman sekarang yang sedang dituding-tuding generasi tuanya. Gaya hidup hippies dan junkies di era tahun 1970-an bukan isapan jempol. Lebih jauh, Audy tahu, kok, siapa saja kerabat seusianya yang antara tanggal lahir dan tanggal pernikahan orang tuanya tidak nyambung.
Audy kembali menarik kertas tersebut ketika Myla tidak juga meresposn, lalu kembali menuliskan sesuatu dan menggeser lagi kertas tersebut ke hadapan Myla.
Kalau generasi tua yang duduk di pemerintahan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, nggak?
Myla membaca tulisan tersebut dan membalasnya.
Kalo lo marah sama orang tua lo, lo bilang! Gue pikir, persoalan lo adalah karena lo harus masuk IPA dan dilarang main band. Bener nggak?
Bu Tini berjalan, maju di antara kolom kedua dan ketiga, kemudian berdiri di tengahnya. Audy menarik masuk kertas yang tadi digunakan untuk mengobrol dengan Myla dan menyembunyikannya di dalam buku. Ia tidak berani membalasnya karena Bu Tini tampak berjalan ke tempat duduknya. Daripada ketahuan dan malah repot.
“Apa, sih, yang ada di kepala kalian?” Bu Tini berhenti. “Kalian itu merusak masa depan kalian! Apa kalian tidak berpikir lebih jauh tentang konsekuensi dari pergaulan bebas?”
Para siswa kembali menunduk, terutama para siswa yang duduk di deretan yang didekati Bu Tini.
“SURYA ADI SAPUTRA!”
Seisi kelas menoleh ke arah Surya yang terkejut tiba-tiba namanya dipanggil.
“MAULIDYA RACHMADIANY!”
Kali ini giliran Audy yang kaget. Ia memandang Bu Tini bingung. Myla pun menoleh ke Audy dengan pandangan sama bingungnya.
“Ayo berdiri! Mana yang namanya Surya Adi Saputra dan Maulidya Rahmadiany?” perintah Bu Tini.
Audy dan Surya pun berdiri. Keduanya tampak menunduk.
“Nah, ini contoh anak-anak muda yang tidak menghargai nilai-nilai bangsa.” Bu Tini menunjuk-nunjuk keduanya.
“Saya tahu kalian berdua tampil di acara itu.” Bu Tini lalu mengedarkan kembali pandangannya ke seisi kelas. “Dan kami, para guru, sudah tahu SEMUA yang datang ke pesta tersebut!” Ia kembali mengalihkan pandangannya ke Surya, lalu Audy.