After School

Nadya Wijanarko
Chapter #17

Happy Sweet Seventeen!

Hari ini, ternyata Om Hari sendiri yang langsung melayani para tamu di warungnya. Ia menghampiri meja yang ditempati Audy, Myla, Rida, Vian, dan Danisa sambil membawa nampan.

“Saya kasih nama menu ini ‘INTERNET’. Alias ‘Indomie-Telor-Kornet’.” Om Hari, pemilik Warung Ganesha meletakkan mangkuk berisi mi instan rebus yang dimasak dengan dicampur telur, lalu ditambahi daging kornet di atasnya.

Audy, Vian, Rida, dan Danisa tampak ngiler melihat menu di hadapan Myla.

“Kalo yang nggak pakai kornet, namanya ‘INTEL’, alias ‘Indomie-Telor’. Yang jelas, ‘intel’ yang ini nggak bahaya karena nggak bakalan nyulik.” Om Hari tertawa sambil meletakkan tiga mangkuk lain di hadapan Vian, Rida, dan Danisa. Kemudian satu mangkuk lagi di hadapan Audy.

“Kalo yang polosan ini namanya apa, Om?” Audy mengangkat mi dengan garpu. Pesanan Audy memang mi instan polos.

Om Hari menarik kursi, kemudian duduk bersama lima sekawan itu. “Namanya ‘Mi Tante’, alias ‘Indomie Tanpa Telor’.”

Dan kelima sekawan itu kembali tertawa. Ternyata Om Hari orang yang sangat menyenangkan dan bisa cepat akrab dengan orang baru. Perawakannya agak tambun, berambut keriting cenderung kribo, berkacamata dan raut wajahnya lucu. Ternyata memang humoris betulan.

“Kok ‘intel’-nya nyulik, Om?” Myla bertanya sambil menyeruput kuah mi.

“Kalian nggak baca berita?”

Kelima siswa itu menatap Om Hari, termasuk Myla yang menghentikan makannya.

“Sekarang, kan, banyak terjadi demonstrasi. Nah, itu sekarang hampir setiap demo itu berakhir dengan bentrokan. Kalo udah bentrok, pasti ada aja mahasiswa yang hilang,” jelas Om Hari.

“Kok bisa hilang? Memangnya mereka ke mana? Nggak dicari?” tanya Vian.

“Dugaannya, ya, ditangkep aparat. Ada juga yang nggak demo tapi hilang, atau hilangnya bukan pada saat demo. Itu biasanya menimpa aktivis mahasiswa. Nah, itulah kerjaan intel.” Om Hari kembali menjelaskan.

“Kerjaan intel?” Vian tambah bingung.

“Menyusup ke barisan mahasiswa, memetakan siapa-siapa saja yang jadi aktivis. Kurang lebih seperti itulah.” Om Hari mendadak melihat ke sekeliling, kemudian melanjutkan dengan suara memelan. “Makanya, orang nggak berani bicara macam-macam. Kalo enggak, bisa ‘ditandai’.” Om Hari meletakkan telunjuk di bibir.

Vian, Myla, Danisa, dan Rida sontak memelotot. Namun, Audy malah tampak cuek.

“Terus, warung ini di-intel-in, nggak?” Audy malah tertawa kecil, lalu menyuap mi.

Om Hari malah ikut tertawa. “Kamu mikirnya ada-ada aja.” Om Hari geleng-geleng. “Tapi, kalo buat saya sendiri, apa yang terjadi belakangan ini udah nggak asing. Dulu, waktu saya kuliah di Bandung, wah, itu parah banget, sampai aparat menyerbu masuk ke dalam kampus.”

“Oh, ya?” Kali ini Rida yang berhenti mengunyah. Ia tampak tertarik. “Ceritain, dong, Om. Kayaknya seru, tuh.”

Lihat selengkapnya