Audy duduk di depan meja belajar di kamarnya sambil memandang mug besar yang menjadi kado ulang tahunnya beberapa waktu lalu. Mug putih bergambar aneka wajah Mickey Mouse, dibeli patungan oleh teman-temannya–teman band-nya dan Myla.
Ternyata Myla memang merencanakan pesta kejutan untuk Audy. Ia diam-diam membicarakannya dengan Vian, Rida, dan Danisa. Juga Om Hari ketika suatu hari Myla datang sendiri ke Warung Ganesha. Eh, ternyata di sana ada Christophe juga.
Ketika Myla menyebut nama Audy, Christophe langsung menanyakan dan memastikan apakah itu Audy yang pernah ditemuinya beberapa kali. Myla sendiri juga ingat kalau dulu Audy pernah diantar bule gondrong sepulang dari pesta, dan Audy juga pernah menyebut kalau namanya adalah Christophe. Selain itu, Myla juga merasa familier dengan wajah Christophe. Setelah memastikan kalau itu adalah Christophe yang pernah mengantar Audy, keduanya akhirnya sama-sama merencanakan pesta kejutan.
“Pemirsa. Unjuk rasa kembali terjadi dan menimbulkan bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan. Puluhan mahasiswa terluka dan sebagian lainnya dilaporkan hilang.”
Suara berita televisi terdengar dari ruang tengah. Pintu kamar yang terbuka membuat Audy sempat teralihkan sebentar, tetapi pikirannya kembali melayang ke Christophe dan teman-temannya. Christophe dan teman-temannya ternyata ingin membuat band ska betulan. Makanya personelnya banyak. Terdiri dari satu orang vokalis, satu orang gitaris–Christophe, satu orang basis, satu orang kibordis, satu orang drummer, dan tiga orang untuk brass section dengan masing-masing pegang terompet, saksofon, dan trombon.
Total ada delapan orang. Dan karena personelnya banyak, Christophe mengajak The Lemongrass kapan-kapan untuk latihan bareng dengan menyewa studio lantai dua selama empat jam. Lumayan, kan, 40.000 rupiah dibagi 12 orang? Mungkin malah dibagi 13 orang kalau Myla bersedia menjadi manajer band.
“Para demostran menuntut reformasi politik dan ekonomi. Selain itu, mereka juga mengecam praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.”
Kembali terdengar suara dari televisi yang kali ini lebih dikeraskan.
“Demonya semakin menjadi, ya?” Terdengar suara Ibu.
“Iya. Tambah lama tambah masif.” Ayah menanggapi.
“Apa bakal terjadi lagi kayak 1978 dulu? Dulu, jaman kita masih kuliah, kampus kita udah terang-terangan menolak Soeharto. Kalau mahasiswa sekarang menuntut hal yang sama, situasinya bakal semakin panas.” Ibu kembali menanggapi.
“Menyikapi demonstrasi yang kian memanas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah memanggil para rektor perguruan tinggi negeri.”
Kembali terdengar suara pembawa acara.
“Saya berikan wewenang kepada rektor untuk menyelesaikan masalahnya sebaik mungkin.”
Kali ini suara berganti menjadi suara pria dewasa yang sepertinya adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
“Wah, bakal ada apalagi ini? Padahal kebijakan NKK/BKK1 gara-gara kejadian di kampus tahun 1978 itu saja sudah keras.” Kembali terdengar Ayah mengomentari berita.
Audy kali ini tidak bisa tidak mengindahkan obrolan Ayah dan Ibu. Ia kembali teringat cerita Om Hari di Warung Ganesha saat itu. Kalau Ayah dan Ibu bisa mendapatkan pekerjaan, bahkan di instansi milik pemerintah, berarti mereka lolos dari blacklist saat itu.
Audy mengalihkan perhatiannya dari cangkir besar. Kali ini, matanya tertuju pada selembar kertas dan kemudian mengambilnya. Audy memandang bimbang kertas di tangannya.
Tadi siang, pada jam pelajaran Bimbingan Konseling, Bu Lisa membagikan formulir peminatan jurusan. Formulir itu akan menjadi pertimbangan untuk memasukkan siswa di kelas tiga nanti, apakah di jurusan IPA atau IPS.
Sebenarnya, menurut kurikulum 1994, ada satu jurusan lagi, yaitu Bahasa. Hanya saja, para siswa sekolah unggulan umumnya tidak ada yang tertarik untuk mengambil jurusan Bahasa.
Sudah menjadi rahasia umum kalau jurusan IPA memiliki gengsi tinggi. Yang pintar-pintar, biasanya memilih IPA. Yang ingin dianggap pintar, biasanya juga memilih IPA meski ujung-ujungnya nanti mereka pusing sendiri. Yang memilih IPS biasanya mendapatkan cap buangan karena seperti tidak lolos seleksi masuk IPA. Jadi, kalau IPS saja sudah dianggap “buangan”, apalagi Bahasa? Jangan-jangan dianggap ampas.
Audy menghela napas. Nilai-nilainya jauh dari cukup untuk mengambil jurusan IPA. Kalau pun memaksa, ia juga khawatir tidak bisa menyesuaikan diri. Bagaimana kalau nanti tambah anjlok? Akan tetapi, jika ia memilih IPS, apa kata Ibu nanti?
“Terkait dengan para mahasiswa demonstran yang hilang, pihak militer menepis tuduhan yang menyatakan bahwa mereka berada di baliknya.”
Pembawa acara berita kembali membacakan narasinya.
Audy yang mendengarnya dari kamar tersenyum sinis, lagi-lagi teringat dengan cerita Om Hari. Ah sudahlah. Ia pun kembali mengalihkan perhatian pada formulir di depannya. Apa yang harus ia pilih? IPA atau IPS?
…
Audy sudah duduk lagi di kelasnya. Saat ini adalah pelajaran PPKN. Tentu saja dengan Bu Tini sebagai pengajarnya. Tampaknya, Bu Tini sudah melupakan kejadian beberapa waktu lalu gara-gara insiden pesta. Sebab, Audy--juga Surya--sudah bisa masuk kelas kembali pada jam pelajaran PPKN di hari berikutnya setelah keduanya diusir keluar. Bahkan, Bu Tini sama sekali tidak mengungkit kejadian itu. Entah karena lupa, entah karena berasumsi bahwa Audy dan Surya sudah cukup diberi pelajaran.
Materi hari ini berupa diskusi. Para siswa diminta untuk mengajukan pertanyaan pada selembar kertas yang nanti dibacakan satu per satu oleh Bu Tini. Pertanyaan itu akan menjadi nilai tambah untuk rapor nanti.