After School

Nadya Wijanarko
Chapter #19

Kenangan dari Masa Lalu

Televisi di ruang tengah menyala dengan siaran berita. Semenjak aksi-aksi unjuk rasa marak terjadi, televisi lebih sering dinyalakan untuk menonton berita.

“Aksi-aksi yang dilakukan para mahasiswa kian meluas. Kini, mahasiswa semakin banyak yang ingin turun ke jalan. Terkait dengan hal ini, aparat meminta agar mahasiswa tidak turun ke jalan dan tetap di dalam kampus.”

Lagi-lagi berita tentang unjuk rasa.

“Kayaknya seluruh mahasiswa udah pada demo ini.” Ibu mengeraskan volume suara di televisi.

“Iya. Suasana semakin tidak terkendali.” Ayah menanggapi.

Reifan yang sedari tadi asyik belajar di meja ruang tengah mau tidak mau ikut menoleh juga dan melihat berita.

“Fan, kamu kalo pulang sekolah langsung pulang, ya. Jangan mampir-mampir,” pesan Ibu.

“Iya.” Reifan menjawab singkat, lalu kembali berkutat dengan bukunya. Sebentar lagi EBTANAS1 SMP. Reifan sudah mulai mencicil belajar.

“Situasinya lagi nggak aman. Jangan sampai kejadian kayak pas kampanye Pemilu 1997 yang dulu itu.” Ayah juga mengingatkan.

Audy menguping dari kamar. Ia masih menggenggam formulir peminatan jurusan. Wajahnya tampak ragu. Mungkin lebih tepatnya takut–takut Ibu tidak setuju. Hanya saja, ia harus mengambil keputusan.

Akhirnya, Audy keluar kamar dan bergabung di ruang tengah.

“Kita menghadang mahasiswa keluar agar mahasiswa tidak ditunggangi kelompok tertentu.” 

Terdengar jawaban dari salah satu pimpinan aparat keamanan ketika dimintai tanggapannya mengenai sikap aparat yang menahan mahasiswa keluar kampus.

“Bu.” Panggil Audy pelan.

Ibu tampak bergeming. Matanya fokus menatap layar kaca. Ibu memang selalu berusaha up to date dengan berita terbaru, apalagi akhir-akhir ini.

Audy akhirnya duduk di samping Ibu.

“Bu … aku mau masuk … IPS.” Akhirnya Audy berkata juga.

Sontak Ibu menoleh. Dahinya berkerut dan ekspresinya tampak terkejut.

“IPS?” Ibu bertanya balik.

“Iya….” Audy menunduk. Raut wajahnya kini dipenuhi keraguan. Tepatkah pilihannya?

“Ngapain kamu masuk IPS?” tanya Ibu.

“Sudah tidak ada lagi dialog! Kami sudah muak dengan basa-basi politik penguasa! Kami tidak butuh pengarahan, kami tidak butuh dialog! Kami mau reformasi!”

Seorang demonstran melantangkan aspirasinya ketika disodori mikrofon oleh reporter televisi di lapangan.

“Aku lebih cocok di IPS, kan?” ujar Audy.

“Tapi kamu, kan, nggak harus ngikutin hasil tes bakat. Bisa aja tes bakat itu salah.” Ibu tampaknya tetap tidak bisa menerima jika Audy mengambil jurusan IPS.

“Tapi aku juga nggak bisa ngikutin pelajaran IPA, kan, nyatanya? Makanya, lebih baik aku ambil IPS aja….”

Lihat selengkapnya