After School

Nadya Wijanarko
Chapter #21

Tragedi

Seperti biasa, hari ini pun suasana pagi di rumah riuh dengan para penghuninya yang tengah bersiap untuk berangkat melakukan aktivitas.

“Reifan, ayo!” Ibu keluar kamar dan memanggil Reifan yang masih asyik dengan sarapannya.

“Sebentar.” Reifan berkata sambil menyendok nasi gorengnya untuk suapan terakhir.

“Jangan sampai terlambat. Hari ini kamu, kan, masih EBTANAS.” Ibu mengingatkan.

“Iya … iya….” Reifan segera menghabiskan segelas susunya, kemudian ke wastafel untuk sikat gigi.

Ini adalah hari ketiga Reifan melaksanakan EBTANAS. Jadwal EBTANAS untuk siswa kelas 3 SMP adalah empat hari. Selama EBTANAS, boleh dibilang Reifan “diservis” habis-habisan agar konsentrasinya tidak pecah. Sampai-sampai untuk ke sekolah saja khusus diantar Ibu.

Biasanya, mereka berempat pergi bersama dengan rute ke arah Cipete–yang merupakan lokasi sekolah Reifan. Kemudian baru ke arah Blok M–tempat sekolah Audy. Ibu biasanya turun paling dulu di Pasar Jumat. Adapun Ayah masih lanjut ke utara ke arah Jalan Jenderal Sudirman. Namun, kali ini Reifan khusus diantar Ibu meski artinya Ibu harus memutar kembali ke Pasar Jumat setelah dari Cipete.

Mobil di rumah memang ada dua. Yang sering dipakai adalah Toyota Corolla. Biasanya, keluarga Audy menggunakan mobil ini setiap kali bepergian bersama, termasuk berangkat kerja dan sekolah. Dan yang satu lagi, yaitu Toyota Starlet, yang merupakan mobil pertama keluarga mereka. Mobil itu belakangan memang jarang dipakai. Sempat ada rencana untuk memberikannya kepada Audy yang sudah duduk di SMU. Namun, Audy tidak mau menggunakannya kalau belum punya SIM.

Reifan segera keluar menuju Starlet yang sudah bersiap di depan rumah. Tak lama, Ibu pun melajukannya. Kini, di rumah hanya tinggal Ayah dan Audy–dan asisten rumah tangga tentunya.

Waktu masih menunjukkan pukul 05.40. Ujian paling dimulai pukul setengah delapan. Namun, daripada stres terkena macet dan takut terlambat, lebih baik memang datang sepagi mungkin.

Audy keluar kamar setelah Ibu berangkat. Ia sudah rapi dengan seragam sekolah dan memanggul tas ranselnya. Ia lalu menaruh tas dan menuju meja makan untuk sarapan. Nasi gorengnya masih ada. Ia pun mengambil centong dan menuangkan nasi goreng yang tersisa di piringnya. Ayah biasanya sarapan roti dan kopi.

Sebenarnya Audy senang kalau Ibu pergi duluan mengantar Reifan. Sejak pertengkaran beberapa waktu yang lalu, Audy jadi irit bicara dengan Ibu. Bahkan, nyaris tidak pernah kecuali benar-benar mendesak. Audy memang sengaja menghindari Ibu. Yah, setidaknya sampai besok karena besok adalah hari terakhir Reifan melaksanakan EBTANAS.

“Berangkat sekarang, yuk. Mumpung masih jam enam kurang lima belas.” Ayah tiba-tiba muncul di ruang makan dan mengajak Audy.

Audy pun mengangguk. Lalu tanpa banyak bicara ia mengambil minum, menyikat gigi, dan menyusul Ayah ke mobil.

Lalu lintas dari Ciputat menuju Blok M seperti biasa ramai lancar. Tepatnya, menjelang macet. Karena, jika mereka baru berangkat setelah pukul enam, dijamin kendaraan mereka bakal terhambat.

Lagu pop yang terdengar dari radio mobil mendadak terputus, diganti dengan instrumental “Rayuan Pulau Kelapa”. Pertanda bahwa sudah pukul enam pagi dan seluruh stasiun radio wajib me-relay siaran berita dari RRI1.

“Saudara, demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi semakin marak terjadi. Dan kemarin sore, telah terjadi penembakan terhadap para demonstran di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat.”

Suara penyiar seakan mengiringi antrean kendaraan yang mulai terjadi ketika mobil memasuki Jalan Ir. H. Juanda selepas dari Jalan WR Supratman. Ayah mengambil lajur kanan agar tidak terhambat angkutan umum yang suka berhenti mendadak untuk menaikkan atau menurunkan penumpang.

“Sebanyak enam orang meninggal, empat di antaranya adalah mahasiswa Trisakti.”

Raut wajah Ayah mendadak menegang. Tangan kirinya dengan sigap mengeraskan suara radio. Ia tampak serius mendengarkan berita yang dibawakan penyiar saat itu.

“Para korban meninggal diidentifikasi sebagai Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hartanto, dan Hendriawan Sie. Keempatnya adalah mahasiswa Trisakti. Adapun dari masyarakat umum, yaitu Alan Mulyadi dan Vero.”

Lihat selengkapnya