Pagi ini, beberapa siswa datang ke sekolah dengan mengenakan pita hitam di lengan kiri. Ini adalah tanda dukacita dan solidaritas untuk korban tragedi penembakan di kampus Trisakti dua hari sebelumnya. Wajah para siswa terlihat mendung seolah memendam amarah. Hampir tidak ada yang tersenyum ketika mereka memasuki gerbang sekolah.
Beberapa siswa tidak langsung masuk kelas. Mereka malah berhenti di depan gedung. Sebagian memenuhi lapangan basket yang biasa digunakan untuk upacara. Ada yang duduk, dan ada yang berdiri juga. Beberapa yang baru bergabung tampak membawa karton dan spidol, lalu duduk di lapangan basket untuk menuliskan sesuatu di kertas-kertas karton tersebut.
Para siswa sebagian besar merupakan siswa kelas dua karena para siswa kelas tiga sudah selesai EBTANAS. Meski sebagian besar siswa kelas tiga tetap masuk sekolah untuk mengikuti program persiapan UMPTN yang merupakan kerja sama antara sekolah dan bimbingan tes yang digagas para alumni sekolah tersebut. Hanya saja, para siswa kelas tiga sudah tidak lagi punya “kekuasaan” karena statusnya dianggap telah–semi–lulus.
“Eh, itu anak-anak tolong ditahan, dong!” Salah seorang siswa kelas dua tampak berbicara pada Surya.
“Ini udah pada banyak yang masuk kelas kayaknya, Dan.” Surya berkata pada siswa yang dipanggil Dan tersebut–Daniel, tepatnya.
Daniel tampak melihat ke sekeliling. Memang, sih, para siswa yang berkumpul di lapangan basket semakin banyak. Namun, yang telanjur masuk kelas juga banyak.
“Panggilin aja, kali, ya?” usul Daniel. “Anak kelas tiga udah nggak masuk, kan? Jadi, sekarang kita yang pegang kendali.”
Surya mengangguk. “Setuju.” Ia kemudian berpaling ke teman-teman yang lain. “Eh, lo tolong ke kelasnya anak-anak kelas satu, ya? Bilang untuk segera kumpul di lapangan.”
Beberapa siswa langsung melesat masuk gedung menuju lantai tiga–letak kelas para siswa kelas satu.
“Sur, ini kita mau ngapain, sih?” Rico rupanya baru datang. Kerumunan para siswa yang semakin banyak menyemut di lapangan basket mau tidak mau menarik perhatiannya.
“Kita mau mogok belajar!” Daniel yang menjawab.
“Mogok belajar?” Rico bingung.
“Kita mau memprotes kejadian di Trisakti.” Surya menyodorkan beberapa helai kain hitam yang sudah dipotong tipis-tipis hingga menyerupai pita. “Nih, lo bagiin ke anak-anak, ya? Kita demo tepat pas bel jam pelajaran pertama bunyi.”
…
Audy tidak langsung menuju ke kelasnya ketika melihat banyak siswa berkumpul di lapangan basket. Alih-alih, ia malah menghampiri lapangan.
“Ada apa, sih?” Danisa tahu-tahu berada di belakang Audy.
Audy pun menoleh, lalu mengangkat bahu.
“Eh, guys!” Terdengar suara Rida. Audy dan Danisa pun menoleh. Tampak Rida berjalan menghampiri mereka sambil membawa beberapa helai pita hitam.
“Ini, pakai ini.” Rida memberikan dua helai masing-masing kepada Audy dan Danisa. “Kita mau demo. Mogok belajar. Untuk solidaritas Trisakti.”
“Demo?” Audy terbelalak.
“Iya. Pokoknya hari ini kita mau mogok belajar. Gitu, sih, kata anak-anak,” jelas Rida.
Audy tidak menjawab dan langsung mengenakan pita hitam di lengan kirinya.
…
“Teman-teman! Turun, yuk!” Tiba-tiba Rico berteriak di depan kelas.
Seisi kelas pun terkejut.
“Ada apaan, sih?” Dian balik bertanya.
“Kita demo!” ajak Rico.
Demo? Seisi kelas berpandang-pandangan. Wajah mereka tampak bingung.