After School

Nadya Wijanarko
Chapter #24

Tuesday Bloody Tuesday

“... apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: LAWAN!”

Olla, siswa kelas tiga, menutup puisi karya Wiji Thukul yang berjudul “Peringatan” sambil mengepalkan tangan dan meninju ke atas. Tepuk tangan sontak membahana dari para siswa yang memenuhi lapangan.

Para siswa kelas tiga yang tengah mengikuti bimbingan belajar akhirnya tergerak untuk turun juga melihat aksi yang digelar adik-adik kelasnya itu. Hampir pukul delapan, tetapi para siswa masih belum mau beranjak dari lapangan basket. Mereka mengisi acara dengan orasi dan pembacaan puisi. 

Beberapa guru tampak berada di depan lapangan juga. Termasuk Pak Asep dan Bu Lisa yang memang sejak lama bersimpati dengan para siswa. Keduanya tampak bersemangat menonton para siswa yang menyampaikan aspirasi. Meski demikian, beberapa lainnya tampak gelisah. Mereka berada di depan lapangan hanya karena tidak enak dengan Pak Bambang, juga lebih karena malu dengan para siswa yang ternyata berani mengemukakan pendapatnya. Yang jelas, Bu Tini tidak terlihat.

“Ini sampai kapan anak-anak mau aksi?” Salah seorang guru mulai gelisah.

Pak Asep melirik ke arah guru tersebut. Lalu, entah apa yang ada di pikirannya, tiba-tiba ia maju ke podium tempat Surya sedang membakar semangat teman-temannya. Tampak sebelah tangannya membawa sebuah buku.

Surya yang kebetulan menoleh pun menggeser kakinya dan memberikan tempat kepada Pak Asep. Kemudian, Pak Asep meminta pengeras suara yang dipegang Surya.

“Teman-Teman, mari kita dengarkan orasi dari Pak Asep.” Surya sepertinya langsung tanggap dan memberikan pengeras suara tersebut.

Para siswa pun kembali bertepuk tangan. Beberapa menunjukkan sorot kagum kepada Pak Asep. Mungkin mereka senang karena akhirnya ada juga guru yang mau bersuara. Sebelumnya, hanya Pak Bambang–kepala sekolah–yang berbicara. Lainnya hanya diam dan menonton. Mungkin takut dengan status mereka yang pegawai negeri sipil?

“Selamat pagi, Anak-anakku semua!” Pak Asep memberikan salam.

“Selamat pagi, Pak,” jawab para siswa.

“Saya boleh, ya, ikut berorasi?” Pak Asep bertanya basa-basi.

“Boleh dong, Pak….” Nyaris serempak para siswa menjawab Pak Asep.

“Eh….” Pak Asep tampak meralat. Kemudian ia membuka buku yang dibawanya itu. “Maksud saya, saya ingin membacakan puisi.”

Lapangan pun berangsur hening. Pak Asep tampak membuka-buka halaman buku yang dipengangnya sambil mengapit pengeras suara. Surya dengan sigap membantu memegangkan pengeras suaranya tersebut sehingga Pak Asep hanya memegang bagian mikrofon dengan sebelah tangannya.

“Ini adalah puisi karya Taufik Ismail, saya ambil dari buku kumpulan puisinya yang berjudul ‘Tirani dan Benteng’.” Pak Asep membetulkan posisi bukunya. “Yang ini berjudul ‘Kemis Pagi’. Kebetulan, ya, hari ini juga hari Kamis.”

Lapangan kini benar-benar hening. Para siswa tampak antusias menanti puisi yang akan dibacakan Pak Asep.

“‘Kemis Pagi’, karya Taufik Ismail.” Pak Asep membuka orasinya. “Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan. Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran….”

Dan para siswa tampak khusyuk mendengarkan Pak Asep. Puisi berjudul “Kemis Pagi” karya Taufik Ismail yang dibacakan Pak Asep benar-benar cocok menggambarkan yang tengah terjadi saat itu. Kebatilan, penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan, kebobrokan. Semua terasa pas. Tak heran begitu selesai, Pak Asep mendapat tepukan meriah dari para siswa.

Pak Asep ternyata belum selesai. Karena ia tampak kembali membuka-buka halaman buku yang dipegangnya. Dan kali ini adalah “Sebuah Jaket Berlumur Darah”. Lapangan pun lagi-lagi hening. Karena isi puisi tersebut tepat menggambarkan peristiwa yang baru saja terjadi dua hari sebelumnya. Meski puisi tersebut sebenarnya terinspirasi dari kejadian tahun 1966. Namun, sejarah seolah berulang. 

“LANJUTKAN PERJUANGAN!” Pak Asep menutup puisinya sambil mengepalkan tangan. Dan lapangan pun kembali riuh.

“Lagi, Pak!” Beberapa suara meminta Pak Asep untuk lanjut membacakan puisi.

Sayangnya, Pak Asep justru berkata sebaliknya.

“Saya rasa, aksi ini cukup kita sudahi sampai di sini.” Pak Asep berkata.

“Huuu….” Beberapa siswa meneriakkan kekecewaan.

“Eh … ini jam delapan lewat, lho. Udah jam berapa coba?" Pak Asep melirik jam tangannya sekilas. "Tuh, udah hampir setengah sembilan malah."

Para siswa tampak kasak-kusuk. Beberapa melirik jam tangan masing-masing. Sepertinya suasana unjuk rasa membuat para siswa lupa waktu.

"Udah panas, nih. Lagian, kita masih harus belajar.” Pak Asep mencoba membujuk.

Lihat selengkapnya