Dari beberapa contoh di bawah ini, manakah yang termasuk majas ironi?
Myla membaca soal tersebut dengan saksama, sambil mencocok-cocokkan dengan lima pilihan kalimat di bawahnya. Matanya tertumbuk pada jawaban pada opsi keempat:
“Harum sekali baumu. Seperti baru selesai mandi pakai air kembang tujuh rupa,” ucap seorang ibu pada anak lelakinya yang baru saja pulang dari bermain bola dengan sekujur tubuh penuh lumpur.
Myla terkikik pelan sebelum menghitamkan bulatan “D” pada lembar jawaban di depannya. Ujian sekolah memang menggunakan kertas komputer yang jawabannya harus diwarnai hitam pada lingkaran-lingkarannya dengan menggunakan pensil 2B. Meski sebenarnya ini pun paling diperiksa secara manual oleh guru. Namun, karena pada EBTANAS nanti jawaban diperiksa dengan komputer, para siswa sengaja dibiasakan untuk menjawab soal seperti itu. Supaya nanti tidak kaget.
“Pengumuman. Sehubungan dengan situasi dan kondisi, para siswa dipersilakan untuk segera pulang. Selanjutnya, agar para siswa segera pulang ke rumah dan tidak mampir-mampir. Terima kasih.”
Sebuah pengumuman melalui pengeras suara membuat para siswa tersentak. Begitu juga dengan guru yang ada di kelas. Beberapa siswa langsung kasak-kusuk dengan teman-teman di sekelilingnya. Ada apa ini?
Tak lama setelah pengumuman, bel pulang sekolah segera berbunyi. Myla spontan melirik jam tangannya. Bahkan masih pukul 11. Satu jam pelajaran setelah istirahat pun belum.
“Ya sudah. Kalian segera pulang, ya? Selesai tidak selesai, tolong kumpulkan. Tenang saja, ini tidak masuk nilai, kok. Nanti kita bahas satu per satu di pertemuan selanjutnya.” Pak Asep yang tengah mendampingi siswa mengerjakan latihan soal bahasa Indonesia pun segera membereskan buku-bukunya.
Para siswa segera berkemas-kemas. Kemudian berangsur berdiri dan berjalan ke depan kelas. Setelah menyerahkan kertas soal dan jawaban, mereka pun keluar.
Myla juga akhirnya keluar. Namun, ketika tiba di lantai satu, langkahnya terhenti karena tiba-tiba Bu Lisa memanggilnya.
“Ada apa, Bu?” Myla menoleh. Ternyata Bu Lisa juga dari lantai dua.
Bu Lisa terengah-engah. Wajahnya tampak begitu panik. “Audy ada?”
“Audy?” Myla bingung.
“Iya,” tegas Bu Lisa.
Myla menggeleng. Dan wajah Bu Lisa pun semakin panik.
“Kenapa, Bu?” Myla jadi ikut khawatir.
“Tadi orang tua Vian telepon. Bilangnya mau jemput Vian.” Bu Lisa berhenti sebentar, lalu melihat sekeliling. Tampak para siswa keluar dari ruang kelas dan berjalan keluar. “Masalahnya, ternyata Vian nggak ada!”
Myla memelotot. “Nggak masuk, kali?”
Bu Lisa menggeleng. “Kalo Vian nggak masuk, ngapain mau dijemput segala?”
Myla bingung juga. “Nggak salah kelas, kan? Vian yang anak kelas II-9, kan?”
Bu Lisa kembali menggeleng. “Vian kelas II-9, Rida kelas II-10, Danisa kelas II-12.” Bu Lisa berhenti sebentar untuk menarik napas. “Lalu Audy kelas II-7. Sekelas sama kamu. Mereka semua di lantai dua, dan satu band, kan?”
Myla menaikkan alisnya. “Semuanya nggak ada?”
Bu Lisa mengangguk. “Begitu Vian nggak ada di kelasnya, saya langsung cek semua temen band-nya. Danisa, Rida, lalu….”
“Audy,” potong Myla.
“Apa mereka lagi latihan?” tanya Bu Lisa.
“Latihan?” Myla melongo. “Masa, sih? Ini, kan, jam pelajaran?”
“Berarti nggak latihan, ya?” Bu Lisa memastikan.
“Eh.” Myla tampak berpikir. Para siswa yang masih berada di ruang-ruang kelas semakin sedikit. Semua berangsur keluar menuju halaman.
“Sebenernya, belakangan Rida minta saya yang jadi manajer mereka. Jadi, kalo pada mau latihan, Audy bilang ke saya, lalu saya yang booking tempat. Pas terakhir latihan, sih, begitu kesepakatannya. Tapi … nggak tahu juga kalo tahu-tahu mereka latihan sendiri.” Myla tampak ragu. “Tapi … masa, sih, mereka malah latihan band di jam sekolah? Kalo saya … jelas nggak mungkinlah kasih mereka jadwal di jam sekolah.”