Blok M
Myla akhirnya membonceng Surya. Sepeda motor mulai bergerak menuju arah selatan, berbelok kanan melewati sebuah toko kaset besar yang menjadi rujukan anak-anak gaul se-Jakarta Selatan, lalu berbelok ke kiri, ke kiri lagi dan berhenti di persimpangan. Lampu sein kanan dinyalakan karena rute mereka adalah ke arah selatan lagi.
“Lo yakin mereka di Cilandak?” tanya Surya. Lalu lintas siang itu tampak sepi. Jauh lebih sepi dari biasanya. Namun, Surya tetap sabar menanti lampu menyala hijau. Jangan sampai ia kena salah dua kali karena melanggar lampu merah. Pasalnya, Myla tidak pakai helm. Habis bagaimana? Surya hanya membawa satu helm dan Myla juga tidak ada rencana membonceng sepeda motor Surya.
“Mereka selalu latihan di sana … mudah-mudahan, sih.” Myla terdengar ragu,, sekaligus khawatir.
“Ada-ada aja, sih, mereka? Malah pakai bolos segala?” Surya menanggapi.
“Ga tahu juga gue. Tapi mudah-mudahan aja mereka pada nge-band di Cilandak.” Myla berharap-harap cemas.
Lampu lalu lintas berganti hijau. Surya pun melajukan sepeda motornya, berbelok dari Jalan Melawai Raya ke Jalan Panglima Polim. Jalanan yang lowong membuat Surya leluasa mempercepat kendaraannya. Namun, menjelang Pasar Blok A, mereka melihat suatu pemandangan yang aneh. Banyak massa berkerumun … dan gelagatnya seperti kurang bersahabat.
“Itu orang-orang pada ngapain, ya?” Myla memincingkan mata dari balik bahu Surya.
…
Cilandak
Vian kembali mengambil botol minumnya. “Eh, mau main lagu apalagi, nih?” Vian meletakkan botol minumnya.
“Oasis aja gimana?” usul Rida.
“Iya. Setuju. Perasaan kita belum pernah mainin lagunya Audy, nih.” Danisa melirik Audy.
Audy pun menoleh. Wajahnya tampak bingung.
“Oh, iya. Sampai lupa kalo di sini kita punya ‘Noel Gallagher’.” Vian ikut-ikutan menggoda Audy.
“Apaan, sih?” Audy malah tersipu.
“Ayo, dong. Kita belum pernah mainin lagu Oasis, nih. Padahal rambut lo dari dulu udah indie gitu,” cetus Vian, lalu terkikik.
“‘Wonderwall’, Dy. Kayak yang dulu itu,” usul Rida.
“Iya … iya. ‘Wonderwall’, ya?” Danisa setuju. Ia kembali mengambil ancang-ancang. Di lagu “Wonderwall”, drum dimulai setelah satu bait selesai dinyanyikan.
“Ya udah.” Audy akhirnya mengalah. Ia lalu menggenjrang gitarnya.
Namun, tiba-tiba pintu studio malah terbuka. Keempat sekawan itu pun menoleh.
“Mbak, ini mau sewa studionya sampai kapan, ya?” Pemuda yang bertugas menjaga studio bertanya dengan nada cemas.
“Kenapa, Mas? Ada yang mau pakai lagi?” tanya Rida.
“Bukan, tapi kita mau tutup sekarang,” jelas pemuda itu.
Tutup?
Para personel The Lemongrass saling berpandang-pandangan.
“Ini, kan, masih pagi, Mas.” Vian bingung, lalu melihat jam tangannya. “Eh, siang ding. Tapi, kok, siang-siang udah mau tutup? Biasanya, kan, sampai sore.”
“Situasinya lagi nggak aman, Mbak.” Nada suara pemuda itu terdengar semakin cemas. “Pokoknya kita mau tutup sekarang. Mbak nggak usah bayar juga nggak apa-apa, kok.”
The Lemongrass pun semakin bingung. Ada apa ini?
…