After School

Nadya Wijanarko
Chapter #27

Jalan Pulang (2)

Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Sekolah sudah kosong. Namun, Pak Bambang dan Pak Asep masih berada di sana. Mereka bermaksud menjaga sekolah dari hal-hal yang tidak diinginkan, sekaligus mengantisipasi jika ada orang tua murid yang datang maupun telepon masuk. Telepon sekolah sendiri berkali-kali berdering, berasal dari orang tua murid yang menanyakan kabar anaknya di sekolah.

Dan kali ini, telepon sekolah kembali berdering. Pak Asep dengan sigap mengangkatnya.

“Ya? Halo?” Pak Asep duduk menerima telepon di pos piket. 

Pak Bambang tampak berdiri di sampingnya. Beberapa kali ia melongok-longok keluar dengan perasaan gelisah.

“Betul, Pak. Tapi saat ini sekolah sudah kosong. Para siswa dipulangkan lebih cepat.” Pak Asep terdengar menjawab.

Pak Bambang menoleh sekilas. Pasti itu orang tua murid lagi.

“Iya, Pak.” Kembali Pak Asep menjawab. “Pasti, Pak. Kami pasti akan kabari secepatnya. Mungkin boleh minta nomor telepon Bapak?” Pak Asep mengambil secarik kertas dan pulpen, lalu menuliskan sesuatu. “Baik, Pak.” Pak Asep mengembalikan pulpen ke tempatnya. “Sama-sama, Pak.” Telepon kemudian ditutup.

“Siapa itu?” tanya Pak Bambang.

“Salah satu orang tua siswa. Anaknya katanya belum sampai rumah.” Pak Asep memberi tahu.

Pak Bambang langsung cemas. “Harusnya, sejak kemarin sekolah kita liburkan saja,” keluhnya.

“Minum dulu, Pak.” Bu Lisa muncul dari bagian belakang ruangan sambil membawa nampan berisi tiga gelas kecil berisi racikan kopi saset. Bu Lisa ternyata masih di sekolah juga.

Pak Bambang dan Pak Asep mengambil masing-masing satu gelas. Bu Lisa kemudian duduk, menaruh nampan di meja, dan mengambil satu gelas juga untuk dirinya.

“Bu Lisa pulang saja. Daripada nanti ada apa-apa,” ujar Pak Bambang.

Namun, Bu Lisa malah menggeleng. “Saya tunggu di sini dulu. Biar saya ikut bantu kalo ada orang tua yang cari anaknya. Bagaimana pun, kan, saya guru BK.” Matanya menerawang sebelum kembali menyesap kopi. Ia masih kepikiran dengan Audy dan teman-teman band-nya.

...


Ciputat

Ayah menutup telepon. Ia semakin tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. Ia kemudian menghela napas, dan kemudian menelepon lagi.

“Halo? Bisa sambungkan ke nomor pager….” Ayah melihat secarik kertas yang ditempel di papan dekat telepon. Nomor-nomor penting selalu diletakkan di situ. Termasuk nomor pager Audy.

...


Cilandak

Audy, Rida, Vian, dan Danisa berdiri di pinggir jalan, tepatnya di seberang utara Rumah Sakit Fatmawati. Suasana jalan begitu lengang. Sebuah pemandangan yang sangat ganjil mengingat sehari-hari jalan tersebut selalu macet dengan antrean berbagai kendaraan.

“Jangankan kendaraan umum. Kendaraan pribadi aja nggak ada yang lewat. Ini terus kita pulang naik apa?” Rida mulai cemas.

“Ini ada apa, sih, sebenernya?” Vian kian penasaran.

Sementara itu, Audy yang tengah sibuk memperhatikan jalan mendadak perhatiannya teralihkan ketika terdengar bunyi dari dalam tasnya. Ia pun memindahkan tas ransel ke depan dan membukanya. Ternyata pager-nya yang berbunyi.

“Tahu gini, tadi langsung cabut pulang aja.” Danisa tampak menyesal.

Audy tidak mempedulikan ketiga temannya. Karena fokusnya adalah pada pesan yang masuk ke pager-nya. Ternyata banyak sekali pesan yang masuk. Dengan inti pesan serupa: JAKARTA RUSUH!

Audy mendadak pucat. Apalagi ketika ia membaca pesan terakhir dari Ayah:

Kamu di mana? Cepat pulang. Di mana-mana rusuh. Bahaya.

DUAK! DUAR! PRANG!

Lihat selengkapnya