After School

Nadya Wijanarko
Chapter #28

Jalan Pulang (3)

Jalan RA Kartini

Surya dan Myla masih menumpang sepeda motor. Kali ini, kendaraan menyusuri Jl. RA Kartini mengarah ke timur menuju Cilandak. Sayangnya, lagi-lagi mereka terhambat karena di depan ada kerumunan. Hanya saja, karena orang-orang itu tidak tampak seperti ingin berbuat onar, Surya berani mendekati mereka.

“Ada apa, Mas?” Surya mendekati seorang pemuda yang juga menghentikan sepeda motornya.

Pemuda itu menoleh. “Itu kayaknya di sana ada yang rusuh.” Pemuda itu menunjuk arah di depannya. Sebenarnya tidak terlalu jelas juga yang ditunjuk pemuda tersebut. Hanya saja, orang-orang serempak menatap ke arah sana.

Myla kembali lemas. Kalau bukan lewat sini, mau lewat mana lagi untuk menuju Cilandak?

“Masnya mau ke mana?” tanya pemuda itu.

“Ke Cilandak, Mas,” jawab Surya.

“Oh, sama. Saya juga mau ke arah sana,” jawab pemuda itu. “Lewat jalan tol saja kalau begitu.” Pemuda itu menunjuk ke arah pintu tol di sebelah kanan.

Surya terbelalak. Lewat jalan tol? Sepeda motor?

“Udah, Mas. Lewat tol aja. Mumpung yang jaga juga nggak ada.” Pemuda itu mulai melajukan sepeda motornya perlahan. 

“Kapan lagi kita bisa menikmati hasil pembangunan kalau bukan sekarang? Seumur-umur saya belum pernah lewat jalan tol, lho.” Pemuda itu kemudian memacu sepeda motornya masuk gerbang tol.

Surya menatap pemuda yang masuk jalan tol itu. Dan beberapa sepeda motor lainnya juga ikut masuk tol.

Akhirnya, Surya memutuskan untuk lewat jalan tol juga. Setidaknya, jalan tol, kan, jalan layang. Masa di atas ada perusuh juga?


Cilandak

Audy, Rida, Vian, dan Danisa berlari menjauhi Jalan Fatmawati, kembali ke arah timur menuju studio. Suara ledakan barusan sangat mengejutkan mereka. Apalagi ditambah suara-suara teriakan orang dan pecahan barang.

“Guys … tungguin….” Danisa berteriak.

Ketiga temannya menoleh. Tampak Danisa sudah kepayahan dan sepertinya tidak sanggup lagi untuk berlari. Mereka pun menghampiri Danisa dan memapahnya.

“Kita ke mana ini?” Vian kebingungan.

Rida celingukan, melihat sekeliling, dan matanya menangkap sebuah tempat yang agak lowong. Sebuah komplek gedung pusat olahraga di kiri jalan.

“Di sana aja.” Rida memapah Danisa.

“Aman, nggak?” Audy ragu.

“Ada tempat lain yang tertutup?” Rida balik bertanya.

Vian menoleh ke belakang. Memang, sih, tidak ada kerumunan–atau belum, tepatnya. Namun, suara-suara benturan benda semakin jelas terdengar.

“Perusuhnya bakal ke situ nggak?” Vian khawatir.

“Dah lah. Pokoknya masuk aja dulu.” Rida membopong Danisa dibantu Audy.


Cilandak – Studio

Christophe tiba di depan studio tempatnya biasa latihan. Namun, studio tampak tertutup. Berarti, Audy dan kawan-kawan hari ini tidak latihan band?

“Chris!”

Sebuah suara membuat Christophe menoleh. Ternyata Rivaldi. Rumah Rivaldi memang di daerah Cilandak sekitar situ juga. Dulu, keduanya berkenalan karena kebetulan sering bermain basket di salah satu lapangan yang sama di daerah permukiman itu.

Rivaldi menghampiri Christophe. “Tadi gue dapat pesan dari Myla. Dia nanya apa anak-anak band-nya Audy hari ini latihan. Soalnya, semuanya nggak ada di sekolah.” Rivaldi tampak terengah-engah.

“Tapi sekolahnya nggak libur?” tanya Christophe.

“Tadinya enggak. Tapi terus dipulangin cepet. Nah, katanya Audy sama temen-temen band-nya nggak ada di sekolah. Padahal, paginya katanya ada.”

Lihat selengkapnya