Tiga hari sudah Audy, Myla, Rida, Danisa, Vian, dan Surya menginap di rumah Om Hari. Sejak Kamis, hingga sekarang sudah hari Minggu. Tentu saja mereka tidak masuk sekolah di hari Jumat dan Sabtu. Toh, ternyata hari Jumat dan Sabtu kemarin juga tampaknya tidak ada kegiatan apa-apa di sekolah. Kalaupun ada, siapa yang berani masuk sekolah? Entah Senin besok.
Christophe dan Rivaldi tidak ikut menginap. Namun, karena tempat tinggal mereka masih di area permukiman, setiap hari mereka mengunjungi warung Om Hari. Kadang sambil juga membawakan makanan dan pakaian ganti. Area permukiman itu sendiri akhirnya dijaga secara swadaya oleh perangkat-perangkat RT setempat. Pokoknya, jangan sampai ada perusuh yang masuk wilayah permukiman.
“Ayo, sarapan dulu, yuk.” Tante Nita, istri Om Hari, mengajak Audy dan kawan-kawan. Ia tengah menata makanan di meja panjang yang ada di kebun halaman yang biasa digunakan untuk pelanggan warung.
Om Hari dan Tante Nita memiliki satu orang anak. Namun, saat ini anaknya sedang mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri.
“Makanya, saya senang ada kalian di sini. Sejak Tisa ke luar negeri, rumah ini jadi sepi.” Om Hari menyendok nasi goreng dengan centong.
“Mbak Tisa kelas berapa, Om?” tanya Myla sambil menyendok nasi goreng juga, kemudian mengoper wadah dan centongnya ke Audy yang duduk di sebelahnya.
“Ya seumuran kalian ini. Cuma, karena dia ikut pertukaran pelajar, nanti setelah kembali dia harus mengulang lagi di kelas dua. Alias … tidak naik kelas!” Om Hari tertawa.
“Itu, sih, bukan tidak naik kelas, Om. Kan dia belajar di luar negeri,” sanggah Myla.
“Ya sama aja.” Om Hari menyuap sesendok nasi ke mulutnya. “Kalau nanti dia sekelas sama adik kelasnya, itu namanya tidak naik kelas.”
“Kalo nggak naik kelasnya karena sekolah di luar negeri, saya juga mau, Om.” Myla tertawa.
Tak lama, Christophe dan Rivaldi juga datang dan bergabung. Surya tampak senang karena ada teman laki-laki. Bagaimana pun, Surya sebagai satu-satunya laki-laki di antara teman-teman sekolahnya, lama-lama jengah juga.
“Oh, iya. Tadi ayah kamu telepon.” Om Hari berkata pada Audy.
Audy pun menghentikan suapannya dan menatap Om Hari.
“Katanya, menurut informasi, kerusuhan sudah mulai mereda. Jalanan sudah bisa dilewati. Mungkin nanti siang ayah kamu mau jemput.”
Audy tersenyum. “Terima kasih atas infonya, Om.”
…
Audy duduk sendirian di salah satu sudut. Sudut favoritnya di mana ada gitar yang biasa ia mainkan. Ia mengambil gitar tersebut dan mulai memetiknya asal-asalan. Kali ini, ia memang sedang tidak berminat dengan lagu apapun.
Di kejauhan, tampak Vian sedang mengobrol berdua dengan Surya. Keduanya tampak ceria dan sesekali saling bercanda. Apa mungkin mereka balikan?
“Ngeliatin apa, sih?” Tiba-tiba Christophe berdiri di samping Audy.
Audy menoleh, lalu meletakkan gitar. Christophe pun duduk di samping Audy.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Christophe.
Audy malah menunduk. Meski sudah bertemu Christophe sejak tiga hari lalu, ia masih agak canggung. Dan lagi, belum pernah lagi ia dan Christophe berbicara berdua saja begini.
“Nggak.” Audy akhirnya menjawab juga meski singkat.
Suasana kembali hening. Audy memperhatikan Vian yang sedang asyik mengobrol dengan Surya. Ada pun di sudut lain, Myla juga sedang berbicara dengan Rivaldi. Mungkin mereka sedang merencanakan jadwal latihan selanjutnya … atau malah bukan?
Christophe mengambil gitar dan mulai memetik asal-asalan juga. Entah lagu apa yang dimainkannya.