Audy senang bisa kembali ke rumah. Menikmati hari Minggu di sore hari sebelum besok kembali bersekolah.
Eh … memangnya besok sudah masuk sekolah?
“Audy,” panggil Ibu.
Audy yang sedang membereskan buku-bukunya pun menoleh.
“Ada telepon. Dari … siapa tadi? Oh, iya. Dian. Katanya temen sekelas kamu.” Ibu memberi tahu.
“Oh, iya.” Audy segera melesat ke meja telepon.
“Halo?” Audy menyapa. Suara Dian berpadu dengan suara televisi yang masih saja memberitakan dampak kerusuhan. Terdengar pula rencana para demonstran mahasiswa untuk menduduki gedung MPR/DPR di Senayan.
“Wah, gue juga nggak tahu besok udah masuk apa enggak. Tapi yang jelas gue belum berani keluar rumah. Ini aja gue baru sampai rumah tadi,” ujar Audy.
“Terkait rencana para mahasiswa untuk memasuki gedung MPR/DPR, aparat kembali mengingatkan agar aksi dilakukan secara damai dan menghindari kekerasan.”
Reifan mengecilkan suara televisi karena melihat Audy sedang menelepon. Meski, tetap saja suara narasi berita terdengar.
“Gue juga nanti tanya-tanya ke anak-anak yang lain, deh. Ini emang jadi nggak jelas banget kapan masuknya lagi. Thanks, ya.” Audy menutup telepon.
“Kenapa, Dy?” tanya Ibu.
“Itu temenku nanya, besok masuk apa enggak. Nggak ada yang tahu,” terang Audy.
“Nggak usah masuk dulu aja.” Ibu memutuskan.
Eh?
“Selama kondisinya kayak gini, mending nggak usah masuk dulu aja. Ini Ibu sama Ayah juga nggak ke kantor, kok.”
Audy mengangguk, lalu kembali ke kamarnya. Semenjak Audy berhasil pulang dengan selamat, sikap Ibu melunak. Bahkan untuk urusan sekolah yang biasanya Ibu selalu tegas.
Tiga hari yang lalu, semua masih normal. Namun, di perjalanan pulang tadi, Audy justru melihat suasana yang sudah seperti habis perang. Serpihan batu di mana-mana, coretan-coretan di tembok dan jalan aspal dengan isi yang mengecam pemerintah, juga hujatan bernada rasisme terhadap salah satu etnis tertentu. Belum lagi sisa-sisa bangunan yang tinggal puing, bahkan ada yang masih terlihat gosong seperti habis dibakar dengan sedikit sisa asap yang masih mengepul juga.
Tidak ada firasat apapun ketika pada Kamis pagi yang lalu Audy berangkat sekolah seperti biasa–dan Reifan yang berangkat ujian EBTANAS hari terakhir. Kalau saja Audy tahu akan terjadi sesuatu di hari itu, ia tidak akan berbuat konyol untuk malah cabut dari sekolah dan bermain band. Atau, mungkin Audy sekalian saja tidak masuk sekolah.
Pager Audy kembali berbunyi. Kali ini dari Myla, dan lagi-lagi menanyakan hal yang sama: apakah besok masuk sekolah?
…
“Pemirsa, para mahasiswa berhasil memasuki komplek gedung MPR/DPR. Mereka terdiri dari 50 perwakilan mahasiswa dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta.”
Kembali terdengar narasi dari pembawa acara berita di televisi. Tampak di layar kaca puluhan mahasiswa dengan warna-warni jaket almamaternya memasuki gedung perwakilan rakyat tersebut.
“Mahasiswa kayaknya udah mulai gerak lagi, nih,” ujar Ayah yang sedari tadi duduk di depan televisi sambil membaca koran. Judul utama koran pun tidak jauh-jauh dari berita kerusuhan, kalau tidak aksi mahasiswa.
Dari dapur, terdengar suara Bi Mar yang sedang memasak. Sesekali ia mengobrol dengan Ibu yang juga sedang berada di dapur.
“Itu tadi pas saya beli sayur, saya dengar cerita dari pembantu yang di rumah Pak RT. Kan dia nggak nginep, tapi tinggal di kontrakan belakang komplek. Nah, dia cerita, itu tetangganya ada yang bawa macam-macam barang. Tivi, kompo, sampai alat yang buat muter film itu … apa tuh namanya? Tapi terus pada bingung nggak bisa nyalainnya.”
Ibu tertawa mendengar cerita Bi Mar.
Audy sendiri hanya bisa tersenyum getir mendengar cerita Bi Mar. Pada kerusuhan kemarin, pusat-pusat pertokoan memang banyak yang menjadi korban penjarahan. Yang menjarah termasuk juga beberapa warga yang tinggal di kampung belakang komplek.