Lobby nampak di penuhi oleh orang-orang yang berniat berobat.
Almaera dan sahabat-sahabatnya masih mencari-cari keberadaan keluarga Juna ketika melihat keributan di lobby rumah sakit. Seorang lelaki tua menyodorkan sebuah map yang segera didorong oleh petugas administrasi.
"Tolonglah, singkirkan itu semua. Anak saya butuh masuk ICU segera. Dia sudah menolong banyak orang sebagai dokter ... Dia dokter Nicholas ... kamu pasti pernah mendengar namanya kan? Tolong." Pria itu mohon. Masih mendorongkan sebuah map biru berisi sertifikat rumah satu-satunya yang mereka miliki- rumah kediaman mereka. Harta terakhir yang mereka miliki sepanjang putranya di rawat di rumah sakit bersama sang menantu. Mereka telah menjual segalanya hanya tinggal rumah sederhana yang dulunya merupakan sumber pendapatan bagi keluarganya di masa pensiunnya dengan menyewakan rumah tersebut.
Si perawat mendorong map yang ada dihadapannya dengan sopan. "Kami tahu. Tapi kami hanya bisa memberi izin memasukkannya jika Bapak sudah meletakkan deposit seratus juta buat ICU atau lima puluh juta buat kelas. Itu peraturannya, Pak. Maaf, tapi saya tidak bisa membantu." Langkah Almaera terhenti. Dia menatap lelaki tua yang nampak letih itu. "Lebih baik Bapak cari pinjaman dulu dengan jaminan surat itu. Maaf, Pak, saya nggak bisa apa-apa." Si petugas administrasi merasa memberi advis terbaik dan segera memanggil calon pasien lain.
"Itu Eyang!" Nani berteriak pada Almaera yang masih tertegun menatap kejadian di depan matanya itu. Dokter Nicholas. Seorang dokter yang bahkan tidak bisa memasuki rumah sakit untuk pengobatannya sendiri. Terasa menyedihkan. Alamera masih berada di pemikirannya hingga bahkan tak menyadari entah sejak kapan pegangannya pada kedua anak itu terlepas.
"Kakak, itu Eyang." Gadis kecil itu menarik-narik tangan Almaera. Menyadarkan Almaera pada dunia nyata yang ada di hadapannya.
"Eyang? Dimana?" Gadis kecil itu menarik Almaera. Ketiganya berlari ke arah seorang lelaki tua yang masih nampak gagah dan sibuk bertelepon. Meninggalkan Lynne, Joanna dan Willy yang masih jauh di belakang sana.
"Bagaimana bisa Juna dan Nani pergi?"
"Eyang!" pekikan suara kedua anak kecil itu terdengar, menghentikan kegiatan lelaki tua itu, membuat Almaera tergugu diam di tempatnya. Pria tua itu adalah pria yang dia lihat di lobby counter pembayaran tadi.
"Juna? Nina?" pria tua itu menghambur memeluk tubuh kedua cucunya itu. "Bagaimana bisa kalian ada di sini?"
Juna melepaskan dekapan kakeknya dan menunjuk pada Almaera dan teman-temannya. "Kakak itu yang bantu kita ke sini."
Bergegas Almaera dan teman-temannya menghampiri Juna dan kakeknya, menyapa sopan pada pria tua itu.
"Tadi kita nggak sengaja jumpa Juna sama Nina di jalan, Pak. Mereka bilang mau jumpa Ayahnya jadi kita antarin ke rumah sakit Persada, tapi melihat Bapak dan ambulans ke sini kita jadi nyusul ke sini," Joanna menjadi juru bicara pada pria tua itu yang segera beralih menatap kedua cucunya yang nampak menunduk.
"Jadi kalian kabur dari rumah? Apa yang Kakek bilang tentang tetap di rumah dan jangan ..."
Almaera melirik saat kedua anak itu bersembunyi di balik punggungnya. "Mereka hanya merindukan Ayahnya. Bisakah Anda tidak marah pada mereka?"
"Kamu tidak tahu apa saja bisa terjadi pada mereka saat mereka kabur dari rumah. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka? Bagaimana jika ..." Pria tua itu menyeka wajahnya yang kusut. Lalu menarik nafas. Seakan menyadari kesalahan yang dia lakukan pada kedua cucunya. "Terima kasih karena menolong kedua cucu saya." Pria itu itu mengalihkan pandangannya pada kedua bocah kecil itu. Tangannya terayun. "Kemari. Sebenarnya Eyang juga akan membawa Ayah kalian pulang ke rumah hari ini juga. Jadi sebenarnya di rumah pun kalian bisa bertemu dengannya."
"Jadi Ayah sudah sembuh, Eyang?" Juna dan adiknya berlari kembali pada kakek mereka. Wajah sumringah terlihat jelas di wajah kedua anak itu, berbanding terbalik dengan wajah si kakek dan Almaera jelas tahu itu karena apa. "Jadi Juna dan Nina bisa bermain bersama Ayah lagi? Horee!!!" Juna kembali kepada Almaera, Almaera segera memegang erat tangan Juna yang terjulur padanya. Tersenyum kecut pada kebahagiaan semu anak-anak itu.
"Al, udah, yuk. Kita harus ke bandara sekarang. Bisa batal semuanya kalau kita telat." Joanna mengingatkan sahabatnya itu. Almaera mengangguk. Lalu berjongkok memandang Juna untuk berpamitan pada anak itu.
"Kakak harus pergi sekarang. Juna jadi anak yang baik, ya. Kalau Papa Juna masih lemah, jangan dipaksain main. Jangan kabur-kaburan dari rumah lagi, ya. Itu bahaya." Almaera berpesan. Juna mengangguk dan Almaera mendekap anak itu. Diakhir perjumpaan Almaera melambaikan tangannya setelah berpamitan pada kakek Juna dan Nina.
Keempat sahabat itu segera berlarian kembali di koridor rumah sakit, sebelum Almaera menghentikan langkah mereka.
"Apaan lagi sih, Al?"