Jangan tanya bagaimana keriuhan keempat sahabatnya saat berbelanja pakaian di butik Uluwatu. Mereka bergaya bagaikan peragawati, keluar masuk kamar ganti dan pasang gaya di depan kedua cowok yang ada di hadapan mereka.
Lynne muncul untuk baju kelimanya, melenggang keluar dari kamar ganti dan melangkah manis di depan Wiily dan Joe. Pakaiannya seksi. Sebuah bikini yang membuat Wiily langsung menutup mata Joe dengan telapak tangannya. "Tutup mata lo, Joe. Tutup. Kalau gue lihat lo lihat badan cewek gue, gue bakal congkel mata lo!" Buru-buru Willy melangkah tergesa ke arah Lynne, tepat di waktu bersamaan Joanna, Almaera dan Chatty- nama yang belakangan disebut walaupun membawa pakaian di dalam koper malah ikutan membeli pakaian-muncul dengan pakaian casual yang akan mereka beli.
"Taaaadaa .." ucapan ketiga wanita cantik yang masing-masing baru keluar dari ruangan ganti dengan fashion berbeda karena berniat saling bersaing dengan selera fashion masing-masing berhenti saat mendengar teriakan marah Wiily.
"Apa yang gue bilang tentang bikini?! Gue nggak suka lo pake bikini! Lo mau pamerin tubuh lo sama semua orang?!"
"Apaan sih lo posesif banget sih?!" Lynne berteriak tak kalah kerasnya, "Gue cuma mau berenang masak gue pake training?"
"Pakaian renang model lain masih banyak tau." Willy membuka kemeja merk terkenal yang sedari Jakarta dia pakai lalu memasangkannya pada tubuh Lynne walau kemeja itu jelas hanya bisa menutupi tubuh Lynne hingga pertengahan pahanya. Sekarang bagian atas tubuh cowok itu yang gantian terekspos.
"Wow," Joanna memekik kecil di sisi Almaera dan Chatty saat melihat tubuh seksi cowok itu yang diyakini ketiganya hasil nge-gim. Perut Willy rata walau belum kotak-kotak sempurna, tapi lebih dari tubuh seorang model pria. Dari nilai enam hingga sepuluh, body Willy maybe dikisaran delapan koma lima. Jadi taukan gimana bagusnya?
"Joan!" Pekikan itu terdengar. Siapa lagi kalau nggak Lynne, agaknya telinga cewek itu mendengar pekikan kagum Joanna akan tubuh six pack Willy dan masalah baru dimulai. "Willy cowok gue. Tutup mata kalian kalau nggak ...." Almaera dan Chatty telah menutup mata lebih dahulu, tapi kali ini Joanna tak menggubris omongan itu.
"Salah gue apa coba? Lo berdua yang pamerin badan di depan kita, gue cuma penikmat. Gue heran sama lo. Penting, ya segitu posesifnya lo jagain cowok lo ini? Kalau gue jadi Willy udah dari dulu gue ilfeel ngelihat lo."
"Lo kata apa?!" Willy buru-buru memeluk tubuh Lynne yang sudah meringsek menuju Joanna.
"Lagian kalau dia mau selingkuh juga bukan di depan lo kali. Mikir dong. Bego amat sih lo"
"Ihhh, lo tuh, ya ...." Buru-buru Almaera dan Chatty menutup mata Joanna dan memegangi cewek itu yang seketika berteriak protes.
"Jaga mulut lo, Joan. Lo mau ngehancurin persahabatan kita apa?" Chatty berbisik sambil menarik Joanna menjauh.
"Cepetan lo pakai pakaian lo, Willy. Lo nggak maukan ada pertumpahan darah disini?" Alamera berteriak pada Willy yang segera beranjak ke rak butik dan meraih sebuah kemeja biru berlengan panjang setelah mengantarkan Lynne kembali ke ruang ganti. Sementara Joe masih duduk santai di sofa butik dengan memejamkan mata. Sangat penurut.
***
Almaera menatap ponselnya yang tengah memutar lagu. Di telinganya terpasang earphone. Ketika itu dia dan sahabat-sahabatnya sedang duduk di sofa tunggu butik- menanti kasir butik yang tengah menghitung belanjaannya bersama sahabat-sahabatnya. Hanya Joanna yang memilih berada di depan Mbak kasir. Kisruh body six pack Willy masih berimbas sampai detik ini. Bahkan Lynne sempat menolak ikutan ke hotel bokap Joanna kalau saja nggak dibujuk Almaera dan Chatty. Joanna sih sama kepala batunya- nggak berniat minta maaf juga. Nggak merasa bersalah.
"Gue angkat bentar, ya. Dari Papa gue." Almaera minta izin pada sahabat-sahabatnya. Menjauh sebentar. "Sore, Pa." Almaera menerima panggilan video call dari papanya dengan kaku walaupun tadi dia benar-benar berharap bisa berbicara dengan pria itu.
"Kamu lagi dimana sekarang, Sayang? Sunyi banget? Butik, ya?" Suara hangat papanya terdengar. Bisa Almaera lihat saat ini papanya tengah berada di mobilnya.
"Iya, nih di butik, Pa. Mau beli beberapa pakaian. Soalnya ..."
"Apa kamu di Bali?" Papanya memotong ucapan Almaera saat melihat background di belakang tubuh Almaera.
"Iya, Pa. Maaf, Al nggak minta izin dulu .. tapi ini hari perpisahan sekolah dan Joanna menawarkan kami ke hotel Papanya ... Alma nggak perlu bayar tiket pesawat kok ..., Pa juga nggak bayar biaya penginapan hotel ..."
"Apa Papa sejahat itu sama kamu? Sampai kamu takut mempergunakan uang Papa?" Pria itu bertanya perih. Terasa sangat pilu saat menatap wajah sang putri tunggalnya yang nampak cemas membicarakan uang padanya. Bukankah dia bekerja untuk kebahagiaan Almaera?
"Nggak. Maksud Alma bukan gitu, Pa." Almaera menggigit bibirnya, menyimpan luka di hatinya sendiri. Papanya jelas punya pemikiran sendiri jika memperketat keuangannya sedari dia kecil walau some times dia berharap bisa hidup seperti teman-temannya: hangout bareng tanpa dibayarin. Coba aja seperti itu, dia tidak perlu kepikiran buat mencuri kartu debit Papanya kemarin malam buat merayakan perpisahan sekolah. Dan kini saat papanya menelponnya: Almaera berharap bukan karena papanya tahu apa yang telah dia perbuat.
Jelas bukan, bisik batin Almaera menenangkan diri, papa punya banyak kartu debit dan papa tidak akan menyadari jika satu kartunya hilang.
Alamera menelan ludah yang menyangkut di tenggorokannya dengan susah payah hingga terasa sakit.
"Kamu baik-baik saja, Sayang?"