Lynne tidak pernah menyangka bibir Willy bisa menjadi candu baginya. Lynne bertanya-tanya bagaimana ciuman Willy bisa sedasyat ini ... Kapan Willy mempelajarinya? Namun walaupun membuatnya ketagihan Lynne tahu ini tidak seharusnya terjadi. Kalimat itu terus hilir mudik dari benaknya. Bahwa ini salah. Bahwa ini tidak seharusnya terjadi.
Namun Lynne tidak bisa juga berhenti. Entah bagaimana kemudian mereka telah berada di depan pintu kamar president suit yang didiami Willy dan Joe untuk seminggu ini. Willy membuka pintu kamar tanpa melepaskan sedikit pun rengkuhannya dari tubuh Lynne, tanpa tahu ada sepasang mata yang mengikuti gerak keduanya. Pintu kamar menutup dengan cukup keras, ya, itu karena Willy menendang pintu kamar itu karena tangannya penuh merengkuh pinggang Lynne. Kaki mereka berputar, bergerak menuju ke tengah ruangan sementara tangan Willy mulai bergerak meraih ujung gaun pantai selutut yang dikenakan Lynne.
Ranjang.
Deg ... Jantung Lynne berdetak kencang saat melirik benda itu dan membayangkan tubuh mereka berpindah ke atas benda empuk itu. Entah bagaimana Willy sukses melepas gaun yang dikenakan Lynne, tepat ketika Lynne menguasai diri.
Willy mungkin tidak akan bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya saat ini, selain itu belum ada kesepakatan antara mereka tentang rencana masa depan yang akan mereka jalani. Willy pernah mengatakan mungkin dia akan kuliah di Inggris. Jika Willy pergi nantinya ke negara asalnya itu dan dia hamil akibat perbuatan ini, Lynne merasa dia dan keluarganyalah satu-satunya pihak yang akan rugi. Dan kenyataan bahwa dia belum siap menjadi seorang ibu muda membuat tubuh Lynne menegang.
"Stop, Will!" Lynne mendorong tubuh cowok itu tanpa perduli betapa shock nya Willy akibat penolakan itu. Lynne buru-buru membelakangi tubuh Willy sambil menutupi dada dan bagian bawahnya yang walau masih mengenakan bra dan underwear tentu saja terasa terlalu terbuka di mata Lynne. Lynne tidak pernah berada dalam keadaan seperti ini di depan orang lain setelah dia menginjak batita, buru-buru Lynne menarik bedcover dari atas ranjang dan segera membungkus seluruh tubuhnya dengan benda tebal itu.
"Lynne ..."
"Kita nggak seharusnya melakukan ini, Will. Pakai baju kamu," perintah Lynne. Willy buru-buru meraih baju kaosnya yang telah tergeletak di lantai kamar. Lalu menyodorkan gaun Lynne yang tergeletak tak jauh dari baju kaosnya. Lynne menerimanya dengan gugup kemudian bergegas menuju ke kamar mandi untuk mengenakan pakaiannya.
Sebentar kemudian Lynne telah kembali keluar dari kamar mandi. Manik matanya bersua dengan manik mata Willy yang berdiri menantinya. Willy juga telah mengenakan seluruh pakaiannya.
"Lynne, aku minta maaf. Aku khilaf." Lynne mengangguk.
"Aku balik ke kamar aku aja."
"Kamu marah sama aku, Lynne?" tanya Willy. Tangannya mencekal pergelangan tangan Lynne erat. Manik matanya menatap dalam dan hangat pada mata Lynne. Lynne buru-buru menjatuhkan pandangan pada pegangan tangan Willy yang melingkar di pergelangan tangannya lalu menggeleng. Nggak kuat jika harus menatap mata biru Willy lagi yang selalu saja mempesona. "Terus kok buru-buru balik ke kamar kamu?" gugat Willy seakan tak sadar kedekatan mereka membuat degup jantung Lynne semakin kencang.
"Aku nggak mau kita khilaf lagi." Lynne bicara jujur. Makin lama dekat dengan Willy kejadian serupa bakalan terulang lagi. Apalagi di kamar ini hanya ada mereka berdua. Lynne nggak mau hal itu terulang kembali karena dia sendiri nggak yakin dia bisa menguasai dirinya kembali jika Willy nekat menciumnya kembali. Willy terlalu indah untuk ditolak begitu saja. Tawaran yang diberikan bibir Willy juga terlalu terlalu manis untuk dilepeh begitu saja. Lynne menurunkan pegangan tangan Willy dengan lembut dari pergelangan tangannya. Lalu beranjak keluar kamar meninggalkan Willy yang terpaku diam.
Sepeninggal Lynne- Willy juga memilih keluar kamar. Willy melangkahkan kakinya menuju lift yang ada di ujung lorong. Namun belum sampai di ujung lorong suara seseorang terdengar meledeknya.
"Kok cepat ngamarnya? Lynne nolak lo?" Tawa terkekeh itu terdengar. Willy memandang gadis yang tengah berdiri bersandar di tembok hotel dengan salah satu kaki bertekuk ke belakang. "ciuman lo pasti parah."
"Itu bukan karena ciuman gue parah, tapi lebih karena ciuman gue terlalu hot," Willy menyombongkan diri. Joanna mencibir.
"Nggak percaya gue." Gadis itu beranjak. Willy menatap kepergian itu dengan tajam. Sedikit kesal.
"Joanna, gue nggak nyangka kalau lo memperhatikan gue dan Lynne dari tadi. Kalau lo pingin dicium gue juga: bilang." Tawa Willy terdengar mengejek. Sebenarnya hanya untuk membalas menyindir Joanna yang telah mengejeknya. Lalu langkah Joanna terhenti. Dia membalikkan badannya.
"Kalau gue bilang gue mau tahu ciuman lo, emang lo berani nyium gue?" Tawa Joanna terdengar mengejek. "Nggak kan? Lo mah adanya di bawah ketek Lynne."