Lynne meletakkan sendok dan pisau makanan dengan cukup keras hingga menimbulkan bunyi gemerincing. Belum sempat ketiga sahabatnya bertanya, dia telah menggeser kursi dengan kasar dan pamit ke toilet. Lalu benar-benar bergegas pergi begitu saja.
"Apa kita perlu mengkhawatirkan mereka?" Almaera bertanya dengan sorot wajah cemas.
"Nggak akan ada masalah dengan Lynne dan Willy, mereka akan tambah mesra. Yang perlu dicemaskan itu nasib Joe. Yakin seratus persen- Willy nggak akan sudi bersahabat lagi dengan Joe yang ternyata mencintai Lynne," Chatty mencoba memprediksi apa yang bakal terjadi hari ini bak ahli prakiraan cuaca dia berubah menjadi ahli prakiraan cinta Lynne dan Willy. "Tau sendiri gimana posesif-nya Willy sama Lynne."
"Lynne juga gitu kalee."
"Yah ... gue rasa hal itu yang buat mereka langgeng. Memiliki sifat yang sama. Udah dua tahun loh. Padahal melihat seringnya mereka bertengkar karena cemburu-cemburuan kayaknya nggak mungkin selama ini." Almaera menyetujui ucapan Chatty. Joanna hanya diam dan mencoba menyibukkan diri dengan hidangan di hadapannya yang seharusnya terasa begitu lezat, tapi entah mengapa nyatanya kini di lidahnya biasa aja seperti makanan di pinggir jalan Bali.
"Lo nggak apa-apa, Jo?" Almaera bertanya saat sahabatnya itu hanya diam bahkan hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya. Namun yang ditanya bahkan sepertinya tidak mendengar. Almaera mengguncang pelan lengan sahabatnya itu.
"Apa? Lynne udah datang? Gimana?" tanya Joanna dengan mata nanar ke sana kemari.
"Lynne belum balik. Gue nanya lo. What's happen to you?"
"Nggak apa-apa. Gue baik-baik saja. Mungkin karena perut gue dikit sakit. Gue ke toilet dulu." Joanna pergi begitu saja membuat Chatty dan Almaera saling bertatapan.
"Lanjutin makannya. saingan berkurang satu!" Almaera memekik kecil penuh tawa.
"Issshh..., Hidup lo sejak punya nyokap tiri udah kayak rakyat jelata," ejek Chatty.
"Terserah kate lo deh yang penting gue kenyang." Almaera tak menggubris perkataan Chatty, dia mencomot satu sendok kuah hotpot dan memakan udang besar dengan antusias- Chatty menyodorkan potongan steak di atas piringnya ke mulut Almaera yang tengah mengunyah udang. Namun sahabatnya itu masih menyambut potongan steak yang kemudian memenuhi mulutnya.
"Tapp .. ini om-ong-om-ong k-ema-rin ma-lam lo ke-ma-na sih?" Suara tak jelas terdengar dari mulut Almaera yang dipenuhi makanan dan rasa pedas bercampur panas dari hotpot yang baru saja dia campur cabe sebanyak-banyaknya niat awalnya agar rasanya nendang yang malah kini membuat mulutnya terasa terbakar nyaris gosong malah.
"Ngomong yang jelas. Ngapain lo bicara tentang om-om segala."
Almaera menggapai gelas di hadapan Chatty saat isi dalam gelasnya tandas, tapi pukulan rasa pedas dan panas masih bertahan di rongga mulutnya. "A .. er ..," pintanya membuat sahabatnya itu bukannya menyodorkan gelas berisi air tapi menikmati sejenak penderitaan Almaera dengan tertawa terbahak-bahak.
"Sadiss lo," maki Almaera setelah meneguk isi gelas Willy yang ada di sisinya seenaknya. Jus apel yang pasti akan buat pertengkaran dengan Lynne jika sahabatnya yang posesif itu melihat apa yang dia lakukan. Bisa-bisa dia dituduh suka pada Willy dan hendak merasakan bibir Willy dengan cara menegak gelas bekas minuman Willy. Amit-amit kayak nggak ada cowok lain aja sampai harus demen sama pacar sahabat. Jatuh cinta pada mantan pacar sahabat tidak ada di kamus hidup seorang Almaera apalagi jatuh cinta pada pacar sahabat.
"Ehhh,jangan ngalihin pembicaraan gue. Lo kemana kemarin malam?"
"Eiiittsss ... Jangan kepo. Lo ingat peraturan pertama supaya lo dan yang lain bisa makan gratis di sini? Tidak bertanya-tanya tentang kemarin. Atau lo mau gue berubah pikiran dan lo harus bayar makanan ini semua sendirian? Sompret. Lo semua benar-benar nge-rampok gue. Beban gue nyaris sepuluh juta tahu..." Almaera tertawa ngakak.
"Makanya jangan sok borjuis lo kalau uang masih nodong nyokap. Dan kalau nyokap lo masih Tante Monique, Gue yakin pulang dari Bali lo mati ..."
Plak!
"Auuuww. Sinting loe ahh. Pake pukul-pukul segala, sakit tau," protes Almaera sambil memegangi punggungnya yang jadi korban kebengisan Chatty. "Tapi kalau lo nggak punya uang, lo bisa bilang rahasia lo sama gue karena gue bakal bayaran ini semua."
"Gue nggak percaya lo. Lo boleh paling kaya diantara kita, tapi kantong lo lebih menyedihkan dari penjaga sekolah tau." Chatty mencibir sombong. Demi Tuhan- Almaera rasanya ingin menyendok sambal di atas meja dan menyorongkannya ke moncong Chatty biar anak itu menggelepar-gelepar akibat terkena azab dari mulut pedasnya.
"Sorry, ya. Hidup gue nggak semenyedihkan Cinderella lagi. Bokap gue udah baikan sama gue. Bentar lagi bokap gue bahkan janji bakal beliin gue mobil sport," Almaera sesumbar, "jadi kalau gue ngabisin uang sepuluh juta dalam satu jam sih nggak bakal masalah. Gue yakin."
Bicara-bicara soal uang... sepertinya ucapannya jadi kenyataan. Dari kemarin dia tidak mendapatkan telpon dari si mak lampir Rania padahal dia telah menarik beberapa puluh juta untuk biaya perobatan papa dua adik kecil itu ... juga membeli pakaian setiba di Bali belum lagi biaya makan untuk mentraktir teman-temannya di hari pertama tiba di Bali. Apa sihir Rania benar-benar hilang kekuatannya pada papanya?
Papa.
Almaera meraih ponselnya, setelah pembicaraan penuh kebahagiaan mereka, papanya kembali tak bisa dihubungi.
"Ada yang berantam di toilet," salah seorang pelanggan restoran berkata pada temannya yang menantinya di meja. Kemudian menoleh pada Almaera dan Chatty. "Sepertinya kedua teman ... bukan ... Keempat teman kalian bertengkar di toilet," beritahunya dengan suara yang cukup keras hingga pelanggan lain dipastikan mengetahui hal itu juga.
"Serius?"
"Lihat saja sendiri."
Chatty buru-buru menggamit lengan Almaera yang tengah sibuk dalam pemikirannya sendiri memikirkan si papa yang tidak menelponnya sampai saat ini juga.