"Lo nggak apa-apa, Jo?" Suara itu terngiang terus di benak Lynne saat dia tengah duduk di kursi pesawat dan penerbangan telah berlangsung selama tiga puluh menit. Mereka telah meninggalkan bandara Ngurah Rai Bali menuju bandara Soekarno Hatta.
Lynne ingat bagaimana Willy menghampiri Joanna saat sahabatnya itu terlihat memasuki bandara bersama Chatty. Tangan Willy merengkuh punggung Joanna, menawarkan sebuah perlindungan saat cowok itu tahu keadaan yang menimpa papa Joanna. Dan betapa pun dia tidak ingin melihat hal itu, tapi matanya tetap mengarah pada keduanya. Jelas Willy bisa melihat itu. Parahnya Willy yang tak menunjukkan rasa bersalah setelah mengumbar ke-sok perhatiannya pada Joanna bahkan rela memberikan tiketnya pada Joanna agar Joanna bisa terbang segera ke Jakarta. Kini dia, Almaera, dan Joanna berada dalam satu kabin bersama akibat kebaikan hati Willy. Sementara Chatty masih di Bali bersama Willy menanti penerbangan malam. Betapa Lynne benci pada hal ini. Benci saat menyadari sebegitu pentingnya Joanna buat Willy. Benci menyadari dua tahun kebersamaan mereka tidak pernah penting buat Willy ...
Lynne membuang pandangannya ke luar jendela pesawat. Menatap langit siang yang cerah sambil diam-diam menyeka air mata di pipinya.
"Lynne, perhatian Willy ke Jo tadi bukan karena ..."
"Gue nggak mau dengar apa-apa, Al. Please, jangan bicara apa pun lagi tentang mereka." Lynne mengangkat tangannya dan memilih berkeras kepala dengan membelakangi tubuh Almaera. Joanna menyeka air mata yang turun di pipinya ketika melihat dari kejauhan sikap yang ditunjukkan Lynne. Almaera membalikkan tubuh dan menatap Joanna yang nampak buru-buru menyeka air matanya dan memaksakan diri tersenyum pada sahabatnya itu. Almaera bergegas menghampiri Joanna.
***
Almaera, Joanna dan Lynne tiba di Jakarta ketika hari menjelang sore. Lynne tetap tak sudi bicara apa pun bahkan kini juga pada Almaera yang menawarkan jasa pada Joanna untuk menemani Joanna menuju ke rumah Joanna setelah mama Joanna mengabarkan kalau papanya belum boleh ditemui oleh keluarga dan teman hanya oleh pengacara.
"Lynne, please tungguin koper kita. Kalau lo nggak mau ngantar ke rumah Joanna- lo bisa antar ke rumah gue aja. Atau bawa ke rumah lo, gue bakal ambil besok. Lo mau-kan Lynne?" Lynne tak menjawab hanya menatap acuh. Almaera segera mengecup pipi sahabatnya itu lalu menarik tangan Joanna dengan cepat untuk meninggalkan bandara sebelum Lynne berubah pikiran. Mereka harus segera menemui mama Joanna.
Keduanya segera bergegas memasuki mobil Almaera yang terparkir di bandara selama tiga hari ini,
***
Ada sembilan orang orang yang terkena operasi tangkap tangan oleh KPK dalam kasus suap IMB untuk pembangunan hotel yang akan di dirikan papa Joanna. Televisi di rumah Joanna terus menyala dengan berita-berita seputaran hal itu. Sebelum mereka tiba, Mama Joanna nampak sibuk menghalangi beberapa pria yang memaksa memasuki rumah mereka untuk melakukan apa yang mereka sebut prosedur paksa yang ditetapkan undang-undang: penggeledahan. Tangan wanita itu terentang dalam usahanya untuk menghalangi para petugas komisi pemberantasan korupsi yang hasilnya malah membuatnya mendapat ancaman akan dihukum karena menghalangi petugas negara melakukan tugas mereka.
"Mama biarkan mereka ..."
"Bagaimana Mama bisa membiarkan mereka? Mereka akan melakukan segala cara agar Papamu bersalah! Suamiku tidak bersalah! Tidak ada pengusaha yang mau memberikan uang milyaran secara cuma-cuma kalau tidak terpaksa!!!!" Mama Joanna menarik tangan seorang pegawai menengah KPK. Mengguncangnya. Joanna segera mendekap tubuh mamanya kembali, bersama bantuan Almaera mereka bisa melepaskan pegangan mama Joanna pada salah satu pegawai KPK.
"Biarkan mereka mengambil apa pun dari rumah ini, Ma. Aku nggak mau kehilangan Mama juga." Joanna memekik dalam derai air mata sambil memeluk ibunya dan menahan tubuh ibunya agar berhenti menghalangi siapa pun. "Aku tidak akan bisa hidup tanpa Mama dan Papa." Gerak wanita empat puluh tahunan itu terhenti. Kali ini tak lagi ada perlawanan, dia mendekap tubuh putrinya itu dengan erat dan tanpa perlu dikomandoi tangis keduanya terdengar memilukan hati. Almaera menuntun keduanya untuk duduk di sofa ruang tengah diantara hilir mudik para petugas penyidik khusus korupsi itu.
"Tante dan lo, Jo. Sabar. Gue bakal minta Papa bantuin Om."
"Gimana caranya, Al?" Suara sengau mama Joanna terdengar diantara air matanya.
"Al akan minta Papa menghubungi pengacara terhebat di negara ini. Tante, tenang, ya?" Mama Joanna mengangguk sambil merentangkan tangannya merengkuh pundak Almaera dan memeluk gadis delapan belas tahun itu bersamaan dengan rentangan tangan Joanna yang juga memeluk Almaera dengan ribuan ucapan terima kasih. Tepat ketika itu suara pekikan keras seorang gadis terdengar di halaman rumah Joanna.