Gedung bertingkat delapan itu nampak sunyi. Seluruh karyawan Dwipraja Kencana Group nampak sibuk dalam ruang kerja dan rubik kerja mereka. Seorang pria nampak melangkah tergesa menuju lantai tertinggi di gedung itu. Pakaian necisnya bermerk terkenal menandakan dia berada di jajaran atas perusahaan Dwipraja Kencana Group.
"Selina, Pak Andrio Dwipraja memanggil saya," pria itu berkata pada seorang wanita berkacamata minus dengan penampilan serius itu yang segera mendongakkan kepalanya dari bawah meja kerja dan tak kala melihat pria itu, dia segera berdiri dan membungkuk hormat meninggalkan pulpen yang dia cari di bawah meja.
"Silahkan masuk, Pak Andy. Bapak sudah ditunggu Bapak di dalam." Pria itu mengangguk dan melangkah perlahan sambil menghela nafas berat. Jelas dia yakin Andrio Dwipraja memanggilnya untuk mengetahui perkembangan kasus real estate yang akan Dwipraja Kencana Group bangun di Kalimantan Timur sebagai ancang-ancang kepindahan ibu kota negara ke daerah itu. Proyek besar nasional yang telah mangkrak bertahun-tahun kalau tidak mau dibilang berpuluh tahun itu, akan segera terealisasi dan sebagai perusahaan multinasional yang berskala besar. Dwipraja Kencana Group tentu saja melihat peluang bisnis di sana. Apartemen, hotel dan mal yang terkonsolidasi menjadi satu kesatuan jelas dibutuhkan di sebuah ibu kota negara yang baru dan Dwipraja Kencana Group akan merealisasikan hal itu lebih dahulu dari semua perusahaan real estate lain.
Sialnya rencana itu sedikit terkendala saat pengambil alihan lahan kehutanan yang sebenarnya sudah mendapatkan izin HGB dari pemerintah kota tingkat satu dan dua Kalimantan Timur- para penduduk pedalaman itu lah yang menolak. Penolakan yang berakhir dengan gontokan berdarah dan menimbulkan skandal yang mencoreng nama baik Dwipraja Kencana Group.
Sejujurnya hal itu dia pikir sudah dia selesaikan dengan baik. Kepolisian dan jurnalis tidak menyebarkan informasi apa pun mengenai tragedi itu hingga entah bagaimana berita tentang sepasang dokter yang mengabdikan diri di pedalaman Kalimantan dan mengalami kekerasan fisik hingga koma berseliweran di media sosial dan membuat netizen dan para dokter pribadi per pribadi berkomentar untuk meminta polisi mengusut dan kini IDI juga ikut memaksa setelah dokter wanita itu dinyatakan rumah sakit tidak bisa diselamatkan. Berita yang kemudian merujuk pada kenyataan bahwa tempat kejadian itu termasuk lokasi rencana pembangunan hotel, apartemen, mall dan sekolah yang terkonsolidasi menjadi satu kawasan yang akan dibangun oleh Dwipraja Kencana Group membuat Andrio Dwipraja meradang dan emosi serta memintanya menyelesaikan masalah ini tanpa membuat skandal baru. Meyebalkannya Raina memintanya melindungi Dicky-putra wanita itu yang sesungguhnya menjadi dalang dari kerusuhan di pedalaman Kalimantan Timur sambil terisak-isak di pelukannya bahwa Andrio Dwipraja berniat mengantarkan putranya ke kepolisian. Untungnya dia bisa menahan niat sahabatnya itu hingga sampai saat ini Dicky belum disebutkan oleh Andrio kepada polisi sebagai orang yang bertanggung jawab pada masalah di Kalimantan Timur.
Sial! Kalau saja Dicky mau sedikit bersabar semua nggak bakal serunyam ini, umpatnya dalam hati. Kalau dia tidak mencintai Rania, dia pasti akan melaporkan keberadaan Dicky kepada Andrio Dwipraja agar masalah ini cepat selesai dan tak merong-rong pikirannya.
Andy melangkah menuju ke depan pintu ruangan sang pemilik Dwipraja Kencana Group, mengetuk pintu itu sebentar sebelum memasukinya. Senyum Andrio Dwipraja mengembang saat melihat pimpinan tim legal perusahaannya itu.
"Andy, aku mau kau membaca surat ini dan beritahu aku apa kurangnya?" Salah seorang pegawai Surya Chandra- sebuah kantor notaris segera menyodorkan berkas di tangannya. Andy melirik berkas itu sejenak sebelum duduk di sofa tamu.
"Surat warisan?" Ada keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan Andy saat melihat surat itu. "Apa yang membuatmu berpikir untuk membuat surat warisan? Kau terlihat sehat-sehat saja dan tetap nampak hebat."
"Siapa yang bilang hanya orang sakit yang harus menulis surat wasiat? Kita harus punya ancang-ancang untuk semua halkan?"
Andy menatap tak mengerti. "Apa Raina mengetahui hal ini?"
"Raina tidak ada urusan dengan ini."
"Maksudmu ...? Andrio, aku bicara sebagai seorang sahabat: Raina jelas punya urusan dengan ini semua. Dia isterimu. Dia mendampingimu selama enam tahun ini. Dwipraja Kencana Group makin sukses dan bisakah begitu jika kau tidak didampingi Raina? Jangan mengecilkan artinya. Dia akan sangat kecewa kalau mengetahui hal itu."
"Aku tahu dia penting. Aku akan memberikannya harta yang cukup dan tunjangan untuk hidupnya dan anak-anaknya sebagai ucapan terima kasih atas pendampingannya padaku selama ini."
"Maksudmu ..." Andy melangkah mendekati meja sahabat dan bos-nya itu, "kau akan menceraikan Raina?"
Aku rasa itu akan menjadi hal terbaik bagi hidup kami berdua."
"Apa ini karena apa yang dilakukan Dicky? Kau menghukum Raina?"
Andrio Dwipraja menghela nafas dan mengangkat tangannya, meminta sahabatnya itu diam walau mengisyaratkan ketidak senangan, pengacara perusahaannya dan sekaligus sahabatnya itu terdiam juga menuruti keinginan Andrio Dwipraja. "Oke, Pak Surya Chandra- saya rasa semuanya sudah sesuai keinginan saya. Anda hanya akan membacakan surat wasiat itu setelah kematian sayakan?"
"Tentu saja. Semua surat wasiat hanya bisa dibacakan saat si pewaris tiada. Selama usia Anda masih panjang, Anda masih bisa melakukan revisi pada surat wasiat Anda dan kami menjamin kerahasiaan wasiat Anda sampai waktu harus dibacakannya." Andrio Dwipraja mengangguk-angguk mengerti. "Dan sesuai keinginan Anda, kami membawa tiga salinan surat wasiat. Satu akan disimpan oleh saya sendiri di kantor notaris selaku notaris Anda, satu oleh Anda dan satu lagi oleh orang yang Anda percayai." Andrio Dwipraja menunjuk pada Andy yang sempat terkejut dengan kepercayaan itu.
"Kau adalah saksi dari pihakku. Betapa lama kita telah berteman? Dari kita SMA ... Itu lebih dari seperempat abad?"
"Tapi aku belum membacanya. Aku tidak mau kau menanggung kerugian atas sifat tergesa-gesa yang kau miliki." Andrio Dwipraja terkekeh. Wajahnya yang tampan terlihat semakin tampan di usianya yang telah mencapai lima puluh tahun.
"Pak Surya, jangan dibawa ke hati. Sahabat saya ini memang orangnya seperti itu. Dia selalu berpikir untuk melindungi saya dan memandang sikap saya yang terlalu cepat mengambil keputusan adalah ketergesa-gesaan. Kami seperti dua kutub pada satu magnet. Andy akan meneliti dengan akurat dan seksama segala surat, bukti dan kejadian sebelum membuat keputusan."
"Pak Andy, sebagai sesama orang hukum- kami memahami pemikiran Anda. Karenanya kami akan memberi waktu buat Anda untuk membaca dan mempelajari surat wasiat Pak Andrio Dwipraja, jika menurut Anda ada yang janggal atau tidak sesuai baik dalam kata maupun arti kata semisal memberi makna ganda yang bisa disalah artikan dan merugikan pewaris, Anda bisa membicarakannya pada Pak Andrio dan jika Pak Andrio minta dirubah- kami siap merubahnya kembali."
"See? Jangan terlalu kwatir, Andy. Aku percaya pada Pak Surya Chandra. Dia tidak akan pernah mengkhianatiku. Bubuhi tanda tanganmu di bagian saksi."
Andy menghela nafas. Mau bilang apa lagi, sahabatnya itu sudah memutuskan. Andy menurut juga. Lagi pula mungkin keberadaan surat wasiat itu adalah hal baik buatnya. Perceraian Raina dan Andrio Dwipraja akan membuka peluang baginya menikahi Raina. Andy sedang menggores kertas wasiat ketika suara seorang gadis terdengar dari ambang pintu ruang kerja Andrio Dwipraja.
"Papa ... Uppps ... maaf," Alamaera yang menyembulkan kepalanya dari sela pintu yang dia buka segera menatap kepada orang-orang yang ada di dalam ruang kerja papanya. Jelas papanya masih sibuk saat ini. Dia benar-benar datang tidak pada waktu yang tepat. "Maaf, Pa, Al nggak tahu kalau Papa lagi sibuk. Tante Selin nggak ada di mejanya soalnya."
"Almaera? Kamu di Jakarta, Sayang? Bukan di Bali?" pekikan senang terdengar. Belum sempat Almaera menjawab apa-apa, sang papa sudah menghampirinya dan membawanya memasuki ruang kerjanya . "Papa pikir kamu masih ada di Bali. Papa minta maaf belum bisa menyusul kamu, masih banyak pekerjaan di kantor. Tapi ngomong-ngomong kok kamu pulang cepat?"
"Cuma kangen Papa." Almaera menjawab singkat. Sebenarnya bukan hanya itu, tadi dia buru-buru menemui papanya untuk meminta papanya menolong papa Joanna. Setelah cukup tenang dan membiarkan petugas KPK menyita barang-barang yang ada di rumah mereka, mama Joanna pingsan saat mendapat kabar kalau Papa Joanna terjatuh saat pemeriksaan KPK. Agaknya penyakit darah tinggi papa Joanna kambuh setelah menjalani perjalanan dan pemeriksaan. Kedua orang tua Joanna kini di rumah sakit.
Namun nggak perlu semua orang tahu hal itu kan? Dia akan memberitahu papanya saat mereka hanya berdua atau bertiga bareng Om Andy saja. Om Andy kan pengacara mana tahu Om Andy mau membela kasus papa Joanna ...? Almaera berharap.