After Senior High School

Elisabet Erlias Purba
Chapter #21

Menghabiskan Malam Bersama Papa

Almaera menggandeng erat tangan papanya di dalam mobil. Dia bergelayut manja pada pria setengah baya itu. Sesekali Andrio Dwipraja membelai lembut ubun-ubun putrinya itu sementara satu tangannya berada di setir.

Andrio Dwipraja tidak pernah menyetir lagi sejak kecelakaan yang merenggut nyawa isterinya Dewi- mama Almaera. Namun hari ini dia lakukan karena ingin berdua bersama putrinya itu saja. Dia memang tidak berada di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Hanya Almaera dan Dewi. Dewi baru saja menjemput Almaera pulang sekolah. Saat itu Almaera baru kelas empat SD. Menurut Alma saat itu mamanya tengah menggunakan ponselnya. Dia sudah mencoba memberitahu sang mama agar menutup telponnya. Namun mamanya berkeras kepala. Di benaknya saat itu pastilah Dewi sedang bermesraan dengan Andy di telpon.

Butuh beberapa bulan untuk dia tahu bahwa saat itu Dewi bukan tengah berbincang dengan Andy, tapi isterinya itu tengah asyik berbincang dengan teman-teman sosialitanya dan merencanakan acara sosial lain dan jangan lupa juga bergosip. Almaera sudah mengatakan itu, Hal itulah yang mengakibatkan sang mama tidak melihat lampu lalu lintas yang berubah merah dan hijau bagi sisi lalu lintas yang lain. Laju mobil mama yang memang sedikit kencang dan kenderaan dari arah lain yang juga melaju sekencang mungkin dari arah lalu lintas yang berambu lampu hijau membuat mobil keduanya bertemu di tengah jalan. Saat itu Andrio ada di sisi lain jalan empat simpang itu, berkali-kali menelpon sang isteri yang ponselnya dalam kondisi sibuk setelah di dera cemburu akibat kedekatan isterinya itu dan sahabatnya- Andy yang dia ketahui dari sebuah surat kaleng yang muncul di meja kerjanya berisi foto-foto kemesraan Dewi dan Andy.

Dia berada dalam pemikiran dan kemarahannya bahwa Dewi tengah berbincang mesra dengan Andy- menyelingkuhinya sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi. Kejadian itu membuatnya bertengkar dan putus persahabatan dengan Andy. Dia memecat Andy dari perusahaannya dan mencurigai Almaera bukan putrinya. Dewi pasti membencinya selamanya karena hal itu. Hal yang membuat dia menjauh dan menyalahkan Almaera atas kematian ibunya. Hal yang membuat dia lebih senang berada di kantor hingga subuh dan subuh lagi, pulang hanya untuk berganti pakaian lalu pergi kembali. Dia tidak ada di sisi Almaera saat gadis kecilnya itu bersedih dan kehilangan. Andy lah yang muncul dan bersikap layaknya sebagai seorang papa yang bila kepergok olehnya akan dia hadiahi tojokan dan pukulan serta ancaman untuk menjauhi keluarganya termasuk Almaera. Sampai akhirnya Andy membuktikan dirinya tidak bersalah. Saat itu Andy datang di hari pernikahannya dan Raina bersama Almaera yang bahkan tidak dia ikutkan di pernikahannya dan Raina membawa video kebenaran dari beberapa lembar foto kedekatan Andy dan Dewi. Vidio itu menjelaskan mereka bersama rombongan sukarelawan dan sosialita teman-teman Andy dan Dewi tengah melakukan aksi sosial dan diakhir aksi mereka mengambil foto kenangan. Namun jelas ada yang memfotonya saat mereka berbicara berdua saja entah untuk niat apa. Sampai sekarang tak ada satu pun yang tahu siapa pengirim foto itu dan apa niatnya.

"Papa minta maaf untuk semuanya. Untuk semua kebodohan yang Papa lakukan."

Almaera mengangguk. "Alma maafin asal Papa jangan bodoh lagi." Andrio membelalakkan matanya menatap wajah putrinya itu.

"Kamu bilang Papa bodoh? Itu perkataan yang tidak sopan." Andrio memasang wajah galak pada putrinya dan mencubit hidung Almaera yang segera cemberut lalu menundukkan kepalanya dengan sedih.

Gadis kecil itu benar-benar sensitif sekali, pikir Andrio. Apa itu karena dia sering membentak Almaera kalau membantah ucapannya maupun Raina?

"Bukan Alma yang bilang, tapi Papa. Papa kan yang minta maaf buat kebodohan yang Papa lakukan? Artinya ..."

"Papa cuma menggodamu. Papa memang bodoh dulu," Andrio memutus ucapan Almaera dan rnengangkat dagu putrinya itu dengan lembut. Menatap gadis kecilnya yang telah beranjak dewasa. Banyak sekali waktu yang telah dia lewatkan dalam kehidupan Almaera. Banyak sekali luka yang dia torehkan tanpa sengaja. Namun sekarang dan selanjutnya dia tidak akan melewatkan sedetik pun jalan kehidupan putrinya itu. Dia akan mendamping kehidupan Almaera, bahkan walaupun kelak Almaera menikah dengan pria sekaya apa pun- Almaera tetap harus tinggal di bawah pengawasan matanya. Dia akan membahagiakan gadisnya itu. "Tapi sekarang ... nggak lagi. Papa janji akan bersikap bijaksana dan tidak akan pernah membuatmu bersedih lagi."

"Benaran?" Andrio menganggukkan kepalanya dan menerima pelukan hangat sang putri tepat saat dia menghentikan laju mobilnya di tujuan mereka.

Almaera masih mendekap papanya ketika suara penuh kekecewaan keluar dari bibirnya. "Kenpa?" Andrio melepaskan pelukan sang putri dan menatap Almaera dengan serius.

Dengan dagunya Almaera meminta sang papa melihat ke depan. Wahana bermain yang akan mereka datangi telah tutup. Tak mengherankan sih, sudah jam delapan malam. Tentu saja telah tutup. "Taman bermainnya udah tutup, Pa."

"Kamu benar-benar kepingin sekali main sekarang?"

"Alma sih udah sering main semuanya sama Om Andy, sama kakek dan nenek, sama Mama, sama teman-teman juga pernah, tapi kan nggak pernah sama Papa. Waktu kecil- Papa sibuk kerjanya kebangetan sampai nggak ada waktu liburan, waktu mama meninggal- Papa sedihnya kebangetan jadi tiap pulang selalu nangis dan memilih balik kerja lagi ke kantor. Sebenarnya Alma senang ketika Tante Rania bisa membuat Papa bahagia, tapi ... Tante Rania, Dicky dan Rose kayaknya juga nggak suka sama Alma ... jadi ...." Andrio menghela nafas berat. Berapa bodohnya dia karena baru menyadari kebenaran sikap Rania dan anak-anak wanita itu pada Almaera. Dan betapa menyedihkannya hidup putrinya karena punya seorang ayah seperti dirinya yang selalu tak punya waktu. Bahkan orang lain lebih punya waktu buat Alma, contohnya: Andy.

"Papa akan membeli taman bermain ini." Andrio meraih ponsel yang ada di saku jasnya, membuat mata Almaera memblalak. Serius papanya mau membeli Dufan? Teman-temannya pasti heboh kalau tahu hal itu, juga alasan yang melatarbelakangi niat papanya itu. "Dan kita bisa bermain di sini kapan pun kamu mau."

Tawa Almaera terdengar keras. "Papa ihhh. Mentang-mentang crazy rich main beli aja. Nggak ah. Bagusan uangnya buat yang hal lain aja."

"Kalau gitu kamu mau kita terbang ke Disneyland Perancis?"

"Ya kali, Pa ke sana."

"Disana baru jam dua dini hari, Sayang. Penerbangan ke Paris paling enam belas jam."

"Terus kita nyampek di sana juga udah tutup, Pa. Nggak ahh."

"Ya, sudah. Kita kesini lagi besok." Almaera mengangguk sambil memilin ujung kemeja lengan pendek yang dia kenakan. Bicara soal uang- dia jadi ingat telah mengambil salah satu kartu debit Papanya. "Sekarang kita ke tempat lain aja. Kamu udah laparkan? Kita makan malam?" Almaera memegang lengan sang papa dengan serius.

Lihat selengkapnya