Gelap. Senyap. Lalu...
“Semua mundur! Ini jebakan, kita dikepung!”
Suara Leon memecah lorong beton yang pengap, menggema dan menghantam adrenalin semua orang.
Pasukan itu langsung bergerak. Derap langkah berat bercampur napas kacau, sementara tembakan dari luar menghantam dinding dan menurunkan serpihan beton seperti hujan debu.
Udara menebal oleh bau mesiu, asap, dan darah.
Leon melirik cepat ke segala arah. Tatapannya tajam, menghitung medan dalam sesaat. Akses keluar yang mereka lalui sebelumnya telah runtuh, tertutup pecahan balok dan pipa besi.
Tidak ada jalan.
Dari jendela yang retak, kilatan bayangan musuh melintas. Siluet mereka memenuhi perimeter luar bangunan. Mereka benar-benar terkepung.
“Bentuk dua tim! Cari celah apa pun buat keluar!”
Suara Leon tetap rendah, stabil, meski gemuruh bahaya seperti berdiri tepat di tengkuknya.
Joe di sampingnya mengangguk tanpa ragu. Wajahnya berlumur debu dan garis darah yang mengering cepat.
Mereka bergerak menyusuri koridor yang dihajar tembakan sampai dindingnya retak.
Teriakan musuh semakin bising dari luar.
Lalu,
WUUUUUM
Sebuah suara berat, dalam, dan panjang mengiris langit.
Bukan helikopter, bukan drone. Lebih rendah, lebih menekan, seperti badai logam yang menggeram.