Hari itu menjadi rutinitas belanja mingguan bagi Ethan. Pupuk, benih, dan peralatan rumah tangga.
Ethan menjalani semuanya dengan kepala tertunduk, masker kain menutupi separuh wajahnya, topi hitam ditekan rendah. Jaket lusuhnya menggantung longgar, bukan untuk gaya, tapi untuk lenyap berbaur di tengah keramaian.
Pick-up tuanya bergetar melewati jalan berlubang sebelum ia memarkirnya di basement supermarket. Ia mengambil keranjang dan masuk ke dalam.
Diam, tenang, namun selalu waspada. Refleks yang tidak pernah benar-benar mati dari dirinya.
Di lorong pertanian, ia meraih pupuk dan benih.
Lalu—
BOOOOM!
Dentuman menghantam sisi lain gedung. Cahaya putih menyambar lewat kaca depan. Tanah bergetar, troli beterbangan, orang-orang menjerit sebelum paham apa yang baru saja terjadi.
Ethan berhenti sejenak. Kemudian bergerak mengikuti arus massa.
Di luar, separuh gedung kantor runtuh. Asap hitam menanjak ke langit, pecahan logam dan beton menghujani jalanan. Sirene mulai meraung dari segala arah.
Ethan berdiri di trotoar, menatap kekacauan itu.
Beberapa detik kemudian.
BOOOMM!
Ledakan kedua memecah blok sebelah. Api menyembur dari jendela pertokoan.
Panik menyebar seperti badai. Polisi tak beraturan, pemadam kebingungan, ambulans terjebak di tengah mobil-mobil yang bergerak liar.
Lalu... Tiga ledakan beruntun mengoyak titik berbeda, berjarak hanya hitungan detik. Lima ledakan membentuk setengah lingkaran yang mengarah ke pusat kota.
Asap menutup pandangan, tanah bergetar. Dunia mendadak berubah menjadi jurang kacau.