Lorong servis bank itu sempit, gelap, dan dingin.
Ethan berdiri setengah badan di balik pintu besi Dari dalam terdengar langkah kaki bergeser. Gesekan senjata, bisikan pendek yang nyaris tak terdengar.
Ia mendorong pintu itu perlahan. Engselnya berdecit pelan.
Kegelapan menyambutnya. Lampu darurat menyala, membentuk bayangan panjang seperti guratan luka.
Ethan melangkah masuk. Bank Negara tampak seperti cangkang kosong.
Sunyi.
Hanya dengung mesin yang mengisi ruang.
Dari balik pilar, ia melihat dua security diikat di dekat pintu depan. Di hadapan mereka, dua pria bertopeng berjaga tenang.
Ethan menunduk dan menyelinap menuju ruang CCTV.
Ia melihat seorang pria duduk menghadap panel. Jari-jarinya menari di atas tombol-tombol.
Menghapus rekaman, memutuskan feed, memanipulasi jalur video. Gerakannya terlalu bersih dan cepat.
Di belakangnya, dua security lain terbaring tak sadarkan diri.
Lalu terdengar suara berat dari sisi kanan gedung—pintu brankas digeser paksa.
Ethan mengikuti suara itu, langkahnya nyaris tanpa suara.
Ruang brankas berubah jadi panggung operasi. Lampu putih memantul di dinding baja.
Tiga pria bertopeng membongkar tumpukan uang dengan rapi. Uang masuk ke duffel bag tanpa suara.
Tidak ada kepanikan, tidak ada kekacauan. Profesional.
Ethan mengintip dari balik dinding... hingga suara datar dari ruang CCTV memecah keheningan.
“Kita kedatangan tamu. Dari sebelah kiri.”
Ketiga pria itu serempak menoleh. Ethan keluar pelan, kedua tangannya terbuka.
Pria bertubuh besar dan rekannya yang menjaga pintu depan melangkah maju. Moncong senjatanya stabil, tatapannya tajam.
“Mau apa kau di sini?” suaranya tenang dan tegas.
Ethan tidak menjawab. Ia membaca semuanya: tekanan kaki, distribusi beban, arah laras, ritme napas. Semuanya terlatih, bukan amatiran.