Van hitam tanpa plat melaju pelan melewati deretan rumput liar dan bangunan mati. Pinggiran kota terasa seperti tempat yang sudah berhenti bernapas.
Kendaraan itu berhenti di depan gudang tua—bangunan besar yang telah lama ditinggalkan oleh hiruk pikuk dunia.
Pintu bagasi terbuka dengan decitan panjang. Udara dingin bercampur bau karat dan debu menyembur keluar.
Enam pria bertopeng turun satu per satu. Langkah mereka berat namun terukur. Masing-masing membawa duffel bag hitam yang menggembung oleh uang hasil rampokan.
Lampu utama menyala. Cahaya putih keras jatuh tepat di atas meja besi besar, membentuk lingkaran cahaya seperti ruang interogasi.
Di dinding belakang, logo falcon bersilang menatap dari kegelapan.
Pemimpin mereka melangkah ke panel kontrol.
Satu sentuhan.
BRZZZT
Monitor besar menyala. Garis noise menggores layar sebelum menampilkan seseorang dengan wajah separuh tertutup bayangan.
Hanya rahang keras, sepasang mata dingin, dan bekas luka yang membelah pipinya yang terlihat.
Ia berbicara pelan, nada suaranya datar. “…Kalian berhasil?”
Pemimpin tim menegakkan badan. “Misi sukses. Uang sudah kita dapatkan. Kekacauan berjalan sesuai rencana.”
Hening beberapa detik. Lalu tawa pendek—tawa seseorang yang sudah memperhitungkan semuanya sejak lama.
“Bagus. Ada sesuatu yang menarik?”
Para anggota saling melirik. Pria kurus di sisi kanan, jarinya masih bergetar, maju selangkah.
“…Kami bertemu seseorang di bank.”
Suhu gudang terasa turun beberapa derajat. Nada di layar tidak berubah, tapi bobotnya meningkat.
“…Apakah dia?”
Pemimpin tim menelan ludah. “Benar. Seperti dugaan Anda… dia muncul.”
Sosok itu bersandar ke kursinya. Separuh wajahnya masuk cahaya, menyingkap senyum kecil—senyum seseorang yang baru menemukan potongan puzzle yang hilang.
“Bagaimana dia sekarang?”
“Masih berbahaya,” jawab salah satu anggota. “Dia menanyakan tentang kita. Sepertinya dia mulai curiga.”
Pria kurus menambahkan, lirih, “Aku sempat melukainya di rusuk. Tidak parah.”
Sosok di layar tertawa pelan—lebih seperti hembusan napas.
“Hanya keberuntungan.” Tatapannya menajam, seakan menembus keenam pria itu.
“Kalau dia benar-benar kembali... keberuntungan tidak akan cukup menyelamatkan kalian.”
Keheningan menelan ruangan.
“Biarkan dia penasaran. Untuk sekarang.”
Klik.
Monitor padam. Gudang kembali gelap dan dingin, seolah bayangan pria itu masih mengawasi mereka dari sudut yang tidak terlihat.
***
Rumah Ethan sederhana, diterangi cahaya lampu redup.
Ia menyalakan TV sekadarnya, membiarkan suara statis dan laporan lalu lintas memenuhi ruang. Belum ada berita tentang ledakan yang terjadi beberapa jam lalu.
Ethan melepas bajunya perlahan. Luka di rusuk memerah, masih basah, menusuk setiap kali disentuh. Ia mengambil botol alkohol, menumpahkan sedikit ke kain, dan menekannya.
Rasa perih menjalar cepat. Ethan mendesis pendek, menekannya lebih kuat.
Ketukan terdengar di pintu depan. Ethan menghela napas, meletakkan kain, lalu membuka pintu.
Jane berdiri di teras. Napasnya sedikit memburu, rambutnya berantakan ditiup angin. Di tangannya ada tas kecil berisi obat dan perban.
“Aku dengar kau pulang dalam keadaan berdarah.” Suaranya tenang, tapi matanya menyimpan kekhawatiran yang jelas.