Setelah rapat darurat bubar, para jenderal berpencar—sebagian kembali ke rumah, sebagian kembali ke markas masing-masing.
Jenderal Wayne berjalan paling akhir, membawa map coklat berisi potongan artikel, laporan singkat, dan arsip-arsip dari berbagai titik teror yang baru saja mereka bahas.
Ia menuju mobil dinasnya, masuk, dan melaju keluar dari pusat kota. Bukan menuju rumahnya, melainkan ke sebuah kawasan pemukiman yang tenang—tempat yang ideal bagi seseorang yang ingin menjauh dari hiruk pikuk negara.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan teras kecil. Wayne mengetuk pintu tiga kali. Tidak keras, tidak pelan—cukup sebagai tanda.
Pintu terbuka.
Seorang pria setengah baya muncul. Rambutnya mulai memutih di sisi, namun sorot matanya tetap tajam. Bruce—mantan jenderal bintang empat, teman lama sekaligus seniornya ketika dulu masih bertugas. Dan salah satu otak strategis terbaik yang pernah dimiliki angkatan bersenjata.
Bruce menatap Wayne sejenak, lalu bergeser memberi jalan.
“Masuklah, Wayne.”
Wayne melangkah masuk. Interior rumah itu sederhana, hanya ada beberapa foto usang di dinding dan deretan piagam militer dengan warna yang mulai memudar. Jejak kejayaan masa lalu yang dibiarkan tetap terpajang.
Ia duduk di kursi kayu di depan meja bundar kecil.
“Lama tak berjumpa. Bagaimana kabarmu, Bruce?”
Bruce menutup pintu di belakangnya.
“Seperti yang kau lihat. Masih bernapas.” Nada suaranya datar—tidak berubah sejak terakhir kali Wayne mendengarnya.
Ia duduk berhadapan dengan Wayne. “Jadi… apa yang membuatmu datang kemari?”
Wayne meletakkan map coklat itu di atas meja, mendorongnya perlahan ke arah Bruce.
“Kau pasti tahu... beberapa bulan ini kota diguncang serangkaian serangan dan aksi teror.”
Bruce mengangguk pelan, matanya tetap diam pada Wayne. “Ya… aku melihatnya di berita.”
Wayne menarik napas dalam, menahan tekanan yang ia bawa sejak rapat tadi.
“Presiden mendesak penyelidikan penuh. Kami butuh jawaban cepat tentang siapa yang menggerakkan semua ini. Dan aku butuh sudut pandang dan penilaianmu.”
Bruce membuka map itu. Potongan artikel, laporan investigasi, dan foto-foto lokasi serangan terserak di dalamnya. Ia mengambil satu, mengamatinya lama. Lembar berikutnya ia teliti tanpa sepatah kata pun.
Napasnya terdengar berat, namun sorot matanya bergerak cepat. Analitis. Terfokus. Menghubungkan pola-pola yang sebagian besar orang gagal lihat.
Wayne menunggu. Ia tahu—ketika Bruce bekerja, tidak ada gunanya menyela.
Akhirnya Bruce bersuara, pelan namun tajam.
“Jika semua laporan ini akurat… jelas ini bukan pekerjaan amatiran.”
Wayne mengangguk pelan.
“Pola penyerangan dan teror yang dilakukan ini…” Bruce kembali berbicara. Nada suaranya lebih pelan, namun berat. “Aku merasa… sangat mengenalnya.”
Wayne menegakkan tubuh, keningnya berkerut. “Apa maksudmu?”
Bruce tidak menjawab. Ia hanya menghela napas, lalu bangkit berdiri. “Aku perlu menunjukkan sesuatu.”
Ia berjalan masuk ke kamar—langkahnya pelan namun tegas. Wayne menunggu, merasakan sesuatu yang merayap di benaknya—rasa penasaran yang semakin menekan.
Tak lama kemudian Bruce kembali, membawa beberapa dokumen dan foto lama. Ia meletakkannya di meja, tepat di depan Wayne.