Afterimage

Penulis N
Chapter #1

1

Di dunia yang penuh dengan kebisingan dan keraguan, cinta kadang datang seperti sebuah bisikan yang terlambat didengar. Namun, bagi Ari dan Nara, cinta itu datang di saat yang tidak terduga, membawa mereka pada perjalanan yang jauh lebih rumit dan menyakitkan daripada yang pernah mereka bayangkan.

Ari selalu percaya bahwa hidupnya sudah ditentukan. Setiap langkah yang diambilnya adalah bagian dari skenario yang tak bisa diubah. Ketika ia bertemu Nara, seorang wanita dengan hati yang terluka, ia tak tahu bahwa pertemuan itu akan mengubah segalanya. Nara, yang penuh dengan rahasia dan ketakutan, tidak pernah mencari cinta. Ia lebih memilih mengunci dirinya dalam dunia yang tidak mengharapkan kehadiran siapa pun.

Namun, hidup tidak berjalan sesuai rencana. Mereka dipertemukan oleh takdir yang tak bisa dihindari, dan dalam ketidakpastian itu, mereka belajar untuk saling mempercayai, meskipun dunia di sekitar mereka terasa mengancam.

Tidak ada yang pernah mengajarkan mereka bagaimana cara mencintai tanpa takut kehilangan. Tidak ada yang menjelaskan bahwa luka yang dalam pun bisa disembuhkan, bahkan jika waktu tak pernah bisa benar-benar menyembuhkan. Yang mereka punya hanyalah satu sama lain dan keinginan untuk bertahan.

Dengan segala kegelisahan dan harapan yang dipendam, perjalanan mereka dimulai. Mereka akan menghadapi setiap halangan, baik dari dalam diri mereka sendiri maupun dunia di luar sana. Mereka harus belajar untuk melepaskan masa lalu, untuk menerima bahwa kadang cinta itu tidak sempurna, tapi itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuat mereka bertahan.

Ini adalah cerita tentang dua jiwa yang saling mencari, yang akhirnya menemukan satu sama lain. Sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan ketegangan, kebingungan, dan rasa sakit, namun juga tentang keberanian untuk mencintai lagi, meskipun dunia terasa penuh dengan bayangan gelap.

Aku masih ingat caranya tersenyum.

Itu hal pertama yang muncul waktu aku bangun pagi ini. Senyuman Mika yang tipis, agak miring ke kiri, dan muncul tanpa alasan apa pun. Bukan senyuman untuk menyambut kabar baik, bukan karena lelucon, bukan karena keberhasilan. Hanya senyum yang muncul karena dia hidup.

Dan sekarang... dia bahkan nggak ada di daftar kontakku.

"Aneh ya," gumamku sambil menatap layar ponsel.

Kakakku, Lila, muncul di ambang pintu sambil mengunyah roti. "Ngomong sama siapa sih, Ra?"

"Enggak. Cuma mikir. Kamu inget Mika nggak?"

Dia berhenti ngunyah, keningnya berkerut. "Mika siapa?"

Hatiku mencelos.

Aku berdiri cepat, nyaris menjatuhkan gelas. "Mika. Mika temenku dari SMP. Yang sering main ke rumah. Yang rambutnya gondrong dikit, suka pakai hoodie biru tua. Masa kamu nggak inget?"

Lila hanya menatapku lama. "Ezra, kamu yakin nggak salah nama? Nggak ada temenmu namanya Mika, setauku. Dari SMP juga."

Aku pengen marah, tapi suaraku malah lemah. "Kamu pernah ngelihat dia. Kita bertiga pernah nonton film bareng. Yang kamu ketiduran dan dia pulang naik ojek tengah malam..."

"Ra." Wajah Lila sekarang serius. "Aku nggak pernah nonton bareng sama cowok siapa pun kecuali kamu. Kamu mimpi kali."

Mimpi?

Enggak. Aku tahu rasanya mimpi. Ini bukan itu.

Aku buka galeri di HP, cari foto bareng Mika. Tapi hasil pencariannya kosong. Bahkan folder yang aku kasih nama "Mika (Jangan Dihapus)" udah nggak ada.

Aku lemas. "Nggak mungkin."

Langit di luar mendung. Hari masih pagi, tapi udara terasa berat, kayak tekanan sebelum badai.

Aku duduk di pinggir ranjang, kepala mendadak berdenyut.

Lila berdiri di pintu, ragu. "Ra, kamu kenapa sih? Nggak enak badan?"

Aku menatap tangan kosongku. Seolah-olah di sana, pernah ada sesuatu yang hangat dan nyata, tapi sekarang... kosong.

"Ada yang aneh," gumamku. "Seseorang yang aku kenal... kayak lagi dihapus pelan-pelan dari dunia ini."

Lihat selengkapnya