Aku berdiri di tempat itu, mencoba mencerna semuanya, namun rasanya seperti aku tersesat di antara bayangan dan kenyataan. Setiap kata yang keluar dari mulut sosok itu menggema dalam pikiranku, seakan menguji ketahananku untuk menerima kenyataan yang jauh lebih suram daripada yang pernah aku bayangkan.
"Mika ... dia menghapus kenangan tentang kita?" tanyaku dengan suara serak, meski aku tahu jawabannya sudah jelas. Hanya saja, aku tidak bisa menerima itu begitu saja. Tidak mungkin Mika melakukan itu. Tidak mungkin.
Sosok itu tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, memandangi meja besar itu, seolah menunggu sesuatu. Beberapa saat berlalu, dan udara di ruangan itu terasa semakin tebal. Aku bisa merasakan ketegangan itu, seolah ruangan ini sendiri sedang menunggu keputusan yang akan aku ambil.
"Apa yang terjadi setelah Mika membuat pilihannya?" Aku bertanya lagi, mencoba mencari pemahaman lebih dalam tentang apa yang sudah terjadi. "Kenapa dia memilih untuk melupakan semuanya? Kenapa dia memilih untuk menghilang?"
Bayangan itu tidak menjawab segera. Sebaliknya, dia berbalik dan melangkah menuju meja. Dengan satu gerakan tangan, dia membuka sebuah kotak kecil yang terletak di atas meja itu. Di dalamnya, ada sebuah cincin yang tampak sangat familiar. Cincin itu—aku bisa merasakannya—adalah cincin yang pernah aku lihat pada Mika, sebelum semua ini terjadi.
Dia mengangkat cincin itu, menggenggamnya erat, lalu menatapku dengan tatapan yang sangat tajam. "Mika memilih untuk menghapus jejak-jejak yang mengikatnya pada dunia ini. Kenanganmu tentangnya... kenangan tentangmu... semuanya menjadi beban baginya. Dia tidak bisa melanjutkan hidup dengan bayangan masa lalu yang terus menghantuinya."
Aku merasa seperti tubuhku membeku mendengar penjelasan itu. "Tidak, itu tidak bisa! Mika tidak seperti itu. Mika tidak akan melupakan aku begitu saja!" Aku berteriak, suaraku penuh dengan emosi yang tak bisa aku kendalikan. Setiap kata yang keluar terasa seperti pisau yang mengiris hatiku.
Bayangan itu tetap tenang, seolah tidak terpengaruh oleh kemarahanku. "Setiap orang memiliki alasan untuk memilih, untuk melupakan, atau untuk bertahan. Mika sudah memilih untuk meninggalkan semuanya. Kamu bisa memilih, tetapi ingat, tidak ada yang bisa kembali setelahnya. Tidak ada yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi."
Kata-katanya seolah menghancurkan dinding pertahanan yang kubangun selama ini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Jika benar apa yang dia katakan, maka mungkin aku sudah kehilangan Mika selamanya. Aku merasa seolah-olah aku terjebak dalam labirin tanpa ujung, tidak tahu mana jalan yang harus kutempuh.
"Jika aku memilih untuk melupakan, apa yang akan terjadi?" tanyaku dengan suara lirih, hampir tidak terdengar. Mungkin ini adalah pertanyaan terpenting dalam hidupku—sebuah pertanyaan yang akan menentukan masa depanku.
Bayangan itu memandangku dengan tatapan yang sulit dimengerti. "Melupakan tidak berarti kamu akan bebas. Itu hanya berarti kamu akan kehilangan sebagian dari dirimu sendiri. Tetapi jika kamu memilih untuk bertahan dengan kenangan itu, kamu akan terus dibebani oleh masa lalu, dan itu akan menghalangimu untuk melangkah maju."
Aku menundukkan kepala, meresapi kata-kata itu. Apa yang harus aku pilih? Melupakan dan menghilang dari segala sesuatu yang pernah aku cintai, atau bertahan dan terus merasakan sakit ini? Aku tidak tahu jawabannya, dan semakin aku berpikir, semakin besar rasa bingung itu merasuki diriku.
Akhirnya, aku melangkah maju, mendekati meja tempat cincin itu terletak. Tangan kiriku terulur, tapi aku ragu. Aku takut menyentuh cincin itu, karena aku tahu, itu bukan sekadar cincin biasa. Itu adalah simbol dari pilihan yang harus aku buat—pilihan yang akan mengubah hidupku selamanya.
"Apakah ada jalan lain?" Aku bertanya pelan, berharap ada jalan keluar yang tidak aku ketahui. Tetapi bayangan itu hanya menggelengkan kepala.
"Tidak ada," jawabnya dengan suara yang dalam. "Semua jalan yang ada akan mengarah ke satu tempat. Pilihannya ada padamu. Apa yang kamu pilih akan menentukan jalan yang akan kamu jalani, dan siapa kamu setelahnya."
Aku menghela napas panjang. Satu pilihan yang harus aku buat. Dan entah mengapa, saat itu aku merasa seperti dunia ini menekan bahuku dengan sangat berat. Namun, aku tahu aku tidak bisa berlarian selamanya. Aku harus memilih.
"Baiklah," kataku akhirnya, suara itu terdengar penuh tekad meski hatiku dipenuhi keraguan. "Aku memilih untuk mencari tahu lebih lanjut. Aku akan melangkah maju."
Bayangan itu tersenyum samar. "Kamu telah membuat pilihanmu. Ingat, setiap pilihan memiliki konsekuensinya. Bersiaplah untuk apa yang akan datang."
Ketika aku melihat cincin itu sekali lagi, aku tahu aku tidak bisa mundur. Pilihan ini adalah langkah pertama untuk mengetahui kebenaran. Tapi, di sisi lain, aku merasa seolah-olah aku sedang melangkah ke dalam kegelapan yang tak terduga.
Aku menggenggam cincin itu, dan dengan satu gerakan, aku memakainya di jari manisku.
Cincin itu terasa berat di jariku. Bukan hanya karena logamnya, tetapi karena beban yang ditanggungnya. Aku merasa seperti telah mengambil keputusan yang tidak bisa aku batalkan lagi. Tangan kanan masih memegang cincin itu, sementara tangan kiriku mulai gemetar. Apakah ini benar-benar yang harus aku pilih?
Bayangan itu tidak berkata apa-apa, hanya menatapku dengan tatapan yang sulit dibaca. Aku tahu, dia hanya menunggu reaksiku, menunggu aku untuk melanjutkan apa yang sudah aku mulai. Tidak ada jalan mundur, dan itu adalah kenyataan yang harus kuterima.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, aku merasa sebuah dorongan kuat di dalam diriku untuk bertindak. Aku ingin tahu lebih banyak—tentang Mika, tentang diriku sendiri, dan tentang segala sesuatu yang terhubung dengan kegelapan ini. Aku tidak bisa berdiam diri, terjebak dalam ketidakpastian.
"Apa yang terjadi jika aku melanjutkan?" Aku bertanya pada bayangan itu, mencoba mencari kepastian, meskipun aku tahu jawabannya mungkin tidak akan membuatku merasa lebih tenang.
Bayangan itu mengangguk perlahan, kemudian melangkah mundur, memberi jalan padaku untuk melanjutkan perjalanan ini. "Jika kamu melanjutkan, kamu akan melihat hal-hal yang tidak ingin kamu lihat. Kamu akan menemui sisi gelap dari kenyataan, dan itu akan menguji ketahananmu. Tapi ingat, jika kamu sudah memilih, tidak ada yang bisa membawamu kembali ke titik awal."
Aku menghela napas dalam-dalam, merasakan beratnya keputusan yang baru saja kuambil. "Aku siap," kataku, meskipun rasa takut dan kebingunganku belum sepenuhnya hilang. "Aku siap untuk melihat semuanya."
Dengan langkah yang mantap, aku mulai berjalan ke arah pintu yang terbuka di depan ruangan itu. Pintu itu tampak biasa saja, namun entah mengapa aku merasa seolah-olah itu adalah gerbang menuju dunia lain—dunia yang lebih gelap, lebih misterius, dan lebih berbahaya dari apa pun yang pernah kulihat sebelumnya.